Kejadian suram saat terjadi kerusuhan pada tahun 1998, di mana mahasiswa bergerak menduduki gedung DPR/MPR, yang dimotori oleh para tokoh yang mengklaim dirinya reformis dan bercita-cita melakukan reformasi di segala lini dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, justru menghasilkan kenyataan bahwa setelah 27 tahun masa reformasi keadaan tidak semakin baik, melainkan mencapai titik terendah. Terjadi degradasi moral bangsa, di mana korupsi dilakukan secara masif dan terstruktur di semua lini kehidupan, dibarengi penegakan hukum yang carut-marut. Hukum pun tidak lagi dijadikan sebagai panglima, melainkan banyak kasus muncul di mana hukum berubah menjadi komoditas kepentingan dan lahan bisnis, sehingga rakyat semakin menderita. PHK terjadi di mana-mana, tumbangnya Pabrik Tekstil Sritex pada 1 Maret 2025, belum lagi kasus korupsi pengopolosan minyak pertamak di Pertamina Patra Niaga, kasus timah Bangka Belitung, kasus pagar laut Tangerang, serta rumor di media tentang pemalsuan batangan emas di sebuah perusahaan besar. Semua itu merupakan indikator bahwa ada yang tidak beres di negeri ini.
Kasus 1998 adalah sebuah tragedi yang harus dijadikan momentum sebagai pengingat bersama bahwa ternyata kita telah dijadikan kaki tangan pihak internasional dalam agenda untuk menjatuhkan sebuah pemerintahan yang, secara de facto, sangat kuat dalam ekonomi dan stabilitas politik—yang ditakuti akan melebihi Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, serta mampu menjadikan Indonesia negara “macan Asia” yang bisa membahayakan negara-negara besar.
Dihimpun dari berbagai sumber, dapat dijabarkan mengapa pemerintahan Orde Baru harus dijatuhkan:
Mahatir M: “Krisis ekonomi 1998 memang dirancang untuk menjatuhkan Pak Harto. Jika Pak Harto tidak jatuh, Indonesia akan jadi negara maju.”
Sultan Bolkiah: “Dipimpin Pak Harto, Indonesia bersatu. Pemerintahan stabil, ekonomi maju sangat pesat. Sangat disayangkan beliau dijatuhkan.”
Lee Kuan Yew: “Pak Harto adalah pemimpin luar biasa. Beliau harus mendapat tempat terhormat dalam sejarah Indonesia…”
Pak Harto berkali-kali mengutarakan niat untuk mundur, namun beliau melihat ancaman luar biasa besar yang membahayakan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fitnah KKN terhadap Pak Harto dan keluarganya, yang kemudian dituangkan dalam TAP MPR untuk memeriksa harta kekayaannya, ternyata tidak terbukti.
Majalah TIME—agen konspirasi global—memfitnah Pak Harto dan keluarganya dengan tuduhan memiliki simpanan USD 30 miliar, tetapi tuduhan itu tidak terbukti sama sekali. Berbagai tim khusus dibentuk pemerintah untuk menyelidiki harta Pak Harto, namun satu pun tidak menemukan rekening, SDB, dan sejenisnya di perbankan asing. “Silahkan cari kemana saja; jika terbukti saya ada simpanan satu sen saja, saya siap dihukum mati,” kata Pak Harto. Semua tuduhan itu hanyalah fitnah.
Belakangan, terbukti bahwa Pak Harto dijatuhkan oleh konspirasi global (P. Demokrat AS, PKC China, dan sekutunya) yang berkolusi dengan kelompok anti-Soeharto. Penyebab utama jatuhnya Pak Harto adalah kemesraan dan keberpihakan beliau yang besar kepada umat Islam sejak 1986, sehingga pihak-pihak tertentu marah. RI merdeka pada tahun 1945, namun kemerdekaan umat Islam Indonesia sejatinya baru terjadi pada tahun 1986/1987, setelah Pak Harto berpaling ke Islam.
Sebagai manusia, Pak Harto sudah pasti tidak sempurna; ada kelemahan, kesalahan, dan kekurangan, namun beliau tetap dianggap sebagai pahlawan dengan jasa luar biasa besar. Terbukti, beberapa hari setelah PKI melancarkan G30S/PKI—yang membunuh para pimpinan TNI AD, ulama, dan tokoh-tokoh anti-PKI di seluruh Indonesia—Pak Harto tampil menunjukkan keberanian dan keteguhan.
Dari dokumen rahasia CIA yang kini sudah boleh diakses publik, ditemukan catatan pejabat CIA mengenai pertemuan pertama antara CIA dengan Pak Harto pada awal Oktober 1965. CIA belum pernah membukanya ke publik, dan Pak Harto pun tidak pernah mengungkapkan pertemuannya dengan CIA beberapa hari setelah G30S/PKI di Jakarta.
Laporan CIA menyebutkan bahwa setelah PKI melakukan Gestapu, TNI AD yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto berhasil menggagalkan PKI untuk mengendalikan NKRI.
Faktor utama kegagalan Gestapu PKI, menurut CIA, adalah “timing” yang tidak tepat; Gestapu dilakukan lima hari sebelum HUT TNI pada 5 Oktober 1965, yang merupakan kesalahan fatal. Gestapu PKI dilancarkan pada saat seluruh pasukan TNI dan pimpinan TNI sedang berkumpul di Jakarta dalam rangka HUT TNI.
Kesalahan fatal kedua PKI adalah meremehkan sosok Soeharto, yang saat itu hanyalah seorang panglima pasukan cadangan TNI AD. Dulunya, Kostrad tidak dianggap prestisius. Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto, sebagai pimpinan pasukan cadangan memang tidak diperhitungkan oleh PKI sebagai pimpinan utama TNI AD. Underestimated terhadap Soeharto juga disebabkan oleh karakternya yang tidak menonjol; ia tidak terseret dalam faksi tertentu di TNI AD.
CIA mengungkapkan sikap low profile Soeharto yang disebabkan oleh kegagalan besar Operasi Trikora Pembebasan Papua Barat, di mana TNI kalah telak dari Belanda.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano















