Yudi Latif
Yudi Latif

Oleh: Yudi Latif

Jakarta, aktual.com – Di tanah air ini, di bawah langit yang sama, kita pernah percaya bahwa negara adalah perahu besar yg mengangkut semua. Kini, perahu itu melaju dengan nakhoda rabun kompas, sementara penumpangnya dibiarkan saling dorong untuk tetap bertahan di geladak.

Nalar yang dulu menjadi lentera kini meredup ditelan kabut pekat kepentingan. Nalar bernegara bukan lagi tentang kebijaksanaan, melainkan sekadar siasat untuk bertahan dalam permainan penuh tipu daya. Logika hukum menjadi logika kekuatan, urusan publik dikendalikan privat, rasionalitas ilmu menjadi instrumen manipulasi.

Nalar bernegara seperti sumur yang perlahan mengering. Kata-kata kehilangan makna, pemikiran jernih makin langka. Kita menatap layar lebih sering daripada menatap wajah sesama, kita mengulang slogan lebih sering daripada merangkai pemahaman.

Negeri ini tak lagi dicerahkan oleh perdebatan gagasan. Kearifan surut digantikan pekak suara adu nyaring. Bukan untuk menerangi, tapi untuk menenggelamkan. Yang bertanya dianggap duri, yang berpikir dianggap ancaman.

Di ruang sidang dan podium pejabat, suara yang seharusnya bijak kini hanya gema kosong, mengulang janji tanpa bukti. Kata “rakyat” menjadi mantra yg dipakai sesuka hati, tapi mereka yang mengucapkannya tak pernah benar-benar mendengar suara dari lorong sempit dan sawah yang mengering.

Rasa berbangsa yang dulu mengikat kini mengendur, seperti simpul yang tak lagi percaya pada genggaman. Rasa berbangsa yg dulu mengalir dalam darah, kini menguap dalam kepalsuan.

Rasa berbangsa kini bak nyanyian lama yang liriknya lupa. Kita tahu melodinya, tapi tak paham maknanya. Kata “Indonesia” masih disebut, tapi lupa cara mencintainya, alpa belarasa pada sesama. Kita masih mengibarkan bendera sama, tapi terbelah prasangka perbedaan dan kesenjangan.

Mungkin negeri ini butuh diam sejenak. Mungkin kita harus berhenti berbicara dan mulai mendengar. Mendengar suara tanah yang mulai lelah, mendengar desir rintihan rakyat kecil, mendengar detak jantung bangsa yg berdenyut lemah. Sebab meski retak, rumah ini belum runtuh. Sebab meski sunyi, masih ada yg berbisik tentang harapan. Sebab meski kehilangan arah, masih ada jalan untuk kembali.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain