Jakarta, Aktual.com – Rabu siang, 9 Juli 2025, waktu seperti melambat di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Meski suhu Jakarta tak seterik hari-hari biasanya, namun di dalam ruangan itu, suhu ketegangan terus naik. Thomas Trikasih Lembong, yang selama ini dikenal sebagai teknokrat berwajah teduh, berdiri di hadapan majelis hakim dengan nada suara yang keras, tegas, dan menggugah.
Di ujung pembacaan nota pembelaan, Tom menganalogikan kehebatan kecerdasan buatan (artificial intelligence-AI) dalam menilai kasus yang menjeratnya. Bekas Menteri Perdagangan itu menyebut bahwa AI yang menganalisis ribuan halaman dokumen, pasal-pasal hukum, dan transkrip sidang menyimpulkan dirinya tidak bersalah. Retorikanya menggema, menciptakan kontras antara objektivitas mesin dan ketidakseimbangan tafsir hukum oleh manusia.
Pledoi bertajuk “Di Persimpangan” itu bukan sekadar pembelaan hukum. Itu adalah pidato politik, catatan sejarah, dan ajakan moral yang menyatu dalam satu nafas panjang. Lembong berbicara bukan hanya untuk dirinya. Ia seolah mewakili banyak orang yang pernah terpeleset dalam labirin hukum Indonesia—yang rimbun oleh kabut prosedur, tapi kadang buta terhadap substansi.
Ia kemudian menyorot inkonsistensi jaksa penuntut umum. “Saya dituduh tidak menunjuk BUMN, lalu dituduh juga menunjuk BUMN,” katanya, sambil mengangkat kedua tangannya.
Dakwaan terhadapnya berubah-ubah. Awalnya, ia disebut merugikan negara karena mengizinkan impor gula rafinasi oleh pihak swasta. Di dakwaan berikutnya, ia disalahkan karena menunjuk BUMN.
“Jadi saya salah karena membuka keran impor, tapi juga salah karena memilih jalur resmi?” ucapnya tajam.
Tak berhenti di sana, Lembong mengungkit perubahan nilai kerugian negara yang disebut meroket dari Rp 400 miliar menjadi Rp 578 miliar. Dia menyebut, dokumen audit BPKP yang dijadikan dasar angka tersebut baru diserahkan setelah sidang ke-12.
“Bagaimana kami bisa membela diri secara adil jika dasar tuduhan baru dimunculkan di tengah jalan?” tanyanya, separuh marah, separuh getir.
Sambil membalik beberapa lembar kertas di tangannya, Lembong menyampaikan bahwa kebijakan impor yang ia keluarkan adalah bagian dari upaya stabilisasi industri dalam negeri.
“Jika semua kebijakan bisa dijadikan dakwaan, maka para pejabat hanya akan diam. Negara akan lumpuh oleh rasa takut,” ujarnya.
Yang membuat suasana semakin panas adalah ketika dia mengutip ucapan Presiden Joko Widodo, mantan atasannya, “Sudah, tapi belum,” dan “Iya, tapi enggak.” Kutipan itu ia sampaikan bukan untuk menyindir, melainkan untuk menggambarkan betapa tak jelasnya landasan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
“Penafsiran jaksa terhadap aturan seperti kata-kata itu—samar, cair, dan bisa berubah sesuai kebutuhan,” sindirnya.
Di sisi ruang sidang, mata beberapa pendukungnya tampak memerah. Di antara mereka, terlihat Anies Baswedan duduk diam, wajahnya tak bergeming, tetapi kedua tangannya menggenggam lutut erat.
Ketika Lembong memohon kepada majelis hakim agar membebaskannya dari semua dakwaan, seruan “Amin!” menggema dari bangku pengunjung. Bukan hanya sekali, tapi dua, tiga, bahkan lima kali.
Tak hanya menyerang aspek hukum, Lembong juga mengangkat dimensi etika dan keadilan substantif. Dia menyatakan tidak pernah menerima satu rupiah pun dari proses perizinan impor yang dia keluarkan.
Dia bahkan menyebut, jika benar ada keuntungan yang diperoleh pihak tertentu, seharusnya orang-orang itulah yang duduk di kursi pesakitan. “Saya tidak korupsi. Saya membuat kebijakan. Dan kebijakan bukanlah kejahatan,” katanya.
Pledoi ini adalah gambaran tentang seorang mantan menteri yang berdiri di ujung tebing reputasi. Di antara lembar-lembar dakwaan, antara pasal dan tafsir, dia mencoba meyakinkan bahwa dirinya adalah korban dari tarik-menarik kepentingan yang lebih besar.
Tom bahkan menyebut perkara ini sebagai ‘perkara politik yang dibungkus hukum’. Sontak kalimat itu membuat jaksa yang duduk tak jauh darinya menggeleng perlahan.
Setelah lebih dari satu jam menyampaikan pledoi, Tom Lembong menutup dengan kalimat yang menghunjam, “Saya berdiri hari ini bukan untuk melawan hukum, tapi untuk membela akal sehat.” Ia lantas memandang langsung ke arah majelis hakim, seolah ingin memastikan setiap kata terakhirnya tertancap di benak mereka. Sorak-sorai kecil kembali terdengar dari pengunjung sidang. Hakim sempat menegur, tetapi suasana sudah tak bisa ditahan.
apa yang menanti Tom Lembong kini bukanlah tepuk tangan, melainkan vonis. Majelis hakim akan menjatuhkan putusan dalam waktu dekat. Jaksa telah menuntutnya dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair enam bulan kurungan. Semua argumen, retorika, dan fakta kini tinggal menunggu satu hal: palu ketukan terakhir.
Bagi Lembong, mungkin inilah jalan sunyi yang harus dilalui seorang pejabat ketika idealisme tak lagi sejalan dengan sistem. Bagi publik, ini adalah cermin: tentang bagaimana hukum bisa menjadi alat keadilan, atau justru belati yang diarahkan ke siapa pun yang berdiri di luar garis.
Di persimpangan itu, Tom Lembong berdiri sendiri. Membela diri dengan satu senjata terakhir: kata-kata.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















