Maulana Syarif Sidi Syaikh Dr. Yusri Rusydi Sayid Jabr Al Hasani saat menggelar Ta’lim, Dzikir dan Ihya Nisfu Sya’ban (menghidupkan Nisfu Say’ban) di Ma’had ar Raudhatu Ihsan wa Zawiyah Qadiriyah Syadziliyah Zawiyah Arraudhah Ihsan Foundation Jl. Tebet Barat VIII No. 50 Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2019). Alhamdulillah Majlis Ilmi dengan Maulana Syarif Syekh Dr Yusri Rusydi As Sayyid Jabr Al Hasani telah berlangsung yakni 19-21 April 2019 atau bertepatan dengan 13-15 Sya’ban 1440 H. Dibuka dengan Pembacaan Kitab Husnul Bayan Fi Laylati Nisfi Sya’ban, Karya Sidi Abu Fadhl Syekh Abdullah Al Ghumari al Hasani RA. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, aktual.com — Dalam kehidupan keluarga, setiap orang tua tentu merasa bahagia ketika melihat anaknya tumbuh cemerlang—rajin belajar, penuh prestasi, atau memiliki kelebihan yang menonjol. Namun, muncul pertanyaan: sejauh mana kita boleh mengekspresikan kebanggaan itu ke hadapan publik?

Suatu ketika, ada seorang anak yang mengungkapkan kegundahannya:

“Dulu aku termasuk anak yang rajin dan berprestasi. Tapi ayahku sering memamerkan kelebihanku kepada keluarga besar. Sejak itu, semangat belajarku menurun drastis. Apakah ini karena terkena ‘ain? Lalu bagaimana cara melindungi diri darinya?”

Menanggapi hal ini, Maulana Syekh Yusri Rusydi al-Hasani al-Husaini hafizhahullah memberikan penjelasan yang penting untuk direnungkan oleh para orang tua.

Beliau mengingatkan bahwa tidak semua nikmat atau kelebihan layak diumbar ke publik, terutama jika menyangkut anak-anak kita yang jiwanya masih rentan. Banyak orang salah memahami firman Allah dalam surah Adh-Dhuhaa ayat 11:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau menyebut-nyebutnya.” (Q.S Adh-Dhuhaa: 11).

Ayat ini, menurut Syekh Yusri, bukanlah anjuran untuk memamerkan nikmat dengan cara yang berlebihan, apalagi sampai menimbulkan kesombongan. Yang dimaksud adalah menampakkan rasa syukur dengan cara yang bijak. Sebagai contoh, ketika seseorang menanyakan kabar anak kita, cukup katakan, “Alhamdulillah, Allah banyak memberi kebaikan,” tanpa perlu merinci satu per satu prestasinya.

Fenomena “kehilangan cahaya” setelah banyak diekspos sering terjadi. Banyak contoh anak-anak yang dulunya tampil bersinar, bahkan diangkat oleh media, namun perlahan kehilangan kecemerlangan mereka. Seorang teman penulis yang dulunya hafizh Al-Qur’an dan menjuarai lomba nasional, saat masuk perguruan tinggi justru mengalami kemunduran. Hafalannya memudar, dan akhirnya ia harus mulai membaca kembali dari mushaf.

Contoh lainnya adalah seorang qari muda tunanetra yang sempat viral di televisi. Paparan publik yang terlalu besar dikhawatirkan membebani mental anak-anak yang belum siap, sehingga malah mematikan semangat dan daya tahan mereka.

Hindari kebiasaan membanggakan anak secara berlebihan di hadapan publik.

Jauhkan anak dari perasaan takjub terhadap diri sendiri—yang bisa menjadi awal dari kehancuran batin mereka.

Lindungi “cahaya” mereka, seperti menjaga nyala lilin dari tiupan angin agar tak padam.

Cara Melindungi Diri dari ‘Ain (Pandangan Hasad)

Syekh Yusri juga mengajarkan amalan yang dapat diamalkan untuk perlindungan dari ‘ain, yaitu:

Membaca Surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas masing-masing 3 kali setiap pagi dan sore. Tiupkan ke telapak tangan, lalu usapkan ke wajah dan tubuh.

Membaca doa ini sebanyak 3 kali:

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Membaca doa berikut juga sebanyak 3 kali:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

Membaca Ayat Kursi setiap selesai shalat.

Jika amalan ini dilakukan secara rutin, insya Allah akan menjadi benteng pelindung. Kalaupun terkena ‘ain, efeknya ringan dan mudah pulih—seperti rasa lemas, pusing, atau hanya bersin ringan.

Penulis mengenang seorang mahasiswi cerdas bernama Syiam. Ia memiliki banyak prestasi: nilai sempurna, fisik prima, dan merupakan atlet nasional. Namun takdir berkata lain. Setelah mengalami kecelakaan kecil, ia wafat sebagai syahidah. Masjid kampus bahkan dinamai dengan namanya, karena begitu banyak yang kehilangan sosoknya.

Contoh lain datang dari seorang profesor yang terlalu membanggakan anaknya yang luar biasa pintar. Karena terlalu terekspos dan terlibat pergaulan yang salah, anak tersebut mengalami gangguan mental dan akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri.

Terlalu mengekspose nikmat bisa membuka pintu hasad. Umat Nabi Muhammad ﷺ adalah umat yang diberkahi, tapi juga yang paling sering menjadi sasaran kedengkian. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri pernah disihir dan terkena dampak pandangan hasad.

Syekh Yusri hafizhahullah menambahkan:

“Kalau kamu rutin membaca hizib pagi-sore al-Zaruqiyah dalam Thariqah ash-Shiddiqiyah, maka tidak ada satu pun makhluk hasad atau jin yang bisa menyentuhmu.”

Menjaga nikmat bukan berarti menyembunyikannya sepenuhnya, tetapi menempatkannya dengan adab dan hikmah. Karena tidak semua cahaya harus disorot. Sebagian justru harus diselubungi, agar tidak padam sebelum waktunya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain