Jakarta, aktual.com – Proyek digitalisasi layanan perbankan melalui pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) milik PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI senilai Rp2,1 triliun berubah menjadi ajang korupsi berjamaah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima orang tersangka dalam kasus ini, dengan nilai kerugian keuangan negara ditaksir mencapai Rp744,5 miliar.
Tiga tersangka berasal dari internal BRI, sementara dua lainnya merupakan pimpinan perusahaan penyedia mesin EDC. Di balik proyek ambisius ini, KPK mengungkap praktik rekayasa tender, manipulasi harga, hingga aliran gratifikasi yang melibatkan sepeda mahal dan bahkan dua ekor kuda.
Kronologi Kasus
Kasus bermula dari pelaksanaan uji teknis (proof of concept/POC) EDC Android yang dilakukan BRI pada 2019. Namun, menurut temuan KPK, hanya dua merek yang diloloskan yakni Sunmi dan Verifone, yang masing-masing dipegang oleh, PT Pasifik Cipta Solusi (PCS), dipimpin tersangka Elvizar dan PT Bringin Inti Teknologi (BRI IT), dipimpin tersangka Rudy Suprayudi Kartadidjaja
Uji teknis tersebut diduga diarahkan langsung oleh Indra Utoyo, Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI saat itu, yang kini menjabat sebagai Direktur Utama Allobank. Vendor lain seperti Ingenico, Nira, dan Pax disebut tidak diberi ruang untuk bersaing.
KPK menyebut pengadaan EDC dilakukan melalui dua skema yaitu Beli putus, sebanyak 346.838 unit dengan nilai Rp942,7 miliar (2020–2024) juga sewa (Full Managed Services/FMS), sebanyak 200.067 unit dengan nilai Rp1,2 triliun (2021–2024)
Nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang digunakan untuk pengadaan tersebut diduga bersumber dari informasi internal vendor yang sudah diatur untuk memenangkan PCS, BRI IT, serta PT Prima Vista Solusi.
Dalam kasus ini KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, seperti Catur Budi Harto, mantan Wakil Direktur Utama BRI, Indra Utoyo, mantan Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI, Dedi Sunardi, mantan SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI, Elvizar, Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja, Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi
Tiga pejabat BRI disebut turut menandatangani sejumlah dokumen pengadaan. Dari hasil penyidikan, KPK menduga mereka menerima sejumlah gratifikasi yang mengalir ke Catur menerima sepeda mahal dan dua ekor kuda dari Elvizar, senilai total Rp525 juta, terus Dedi menerima sepeda Cannondale senilai Rp60 juta dan Rudy menerima uang tunai senilai Rp19,72 miliar dari pihak Verifone Indonesia
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan kerugian negara dihitung menggunakan metode real cost atau selisih biaya ideal dengan biaya aktual yang dikeluarkan.
“Kerugian keuangan negara mencapai Rp744,54 miliar, atau sekitar 33% dari total anggaran pengadaan,” kata Asep dalam konferensi pers, Rabu (9/7/2025). Kelima tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, Jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK juga menggandeng BPK dan BPKP untuk menghitung total kerugian negara secara lebih rinci.
Kasus ini menyoroti ironi pembangunan: alih-alih memodernisasi sistem perbankan nasional hingga ke desa-desa, proyek ini justru dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk memperkaya diri. Korupsi tidak lagi hanya berupa uang, tapi juga sepeda berkelas hingga kuda.
KPK menyatakan penyidikan akan terus dikembangkan, termasuk menelusuri aliran dana, peran pihak lain, serta kemungkinan adanya keterlibatan korporasi dalam skema rekayasa pengadaan tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















