Damaskus, Aktual.com – Serangan militer Israel atau IDF yang menargetkan berbagai lokasi di Suriah, termasuk Istana Kepresidenan Suriah, dengan dalih untuk melindungi warga minoritas Druze di sana, justru diragukan oleh pemimpin Druze sendiri.
Dilansir dari The Arab Weekly, sebagian besar pemimpin agama dan masyarakat Druze menolak campur tangan asing, termasuk campur tangan Israel. Hal ini disuarakan tokoh Druze paling terkemuka di Lebanon, Walid Jumblatt yang khawatir potensi eksploitasi Israel atas kerusuhan yang terjadi di Kota Sweida, yang merupakan kantong masyarakat Druze di Suriah. Jumblatt mendesak solusi politik untuk krisis ini, dan memperingatkan agar tidak jatuh ke dalam apa yang disebutnya ”jebakan Israel”.
Pernyataan Jumblatt tampaknya bertujuan untuk mencegah upaya Israel memanfaatkan situasi di Sweida sebagai alat tawar-menawar, baik untuk menekan presiden baru Suriah, Ahmad al-Sharaa alias Abu Mohammed Al Julani, juga untuk menjalin normalisasi hubungan, maupun untuk menampilkan diri sebagai pelindung minoritas Druze.
”Masa depan Sweida terletak pada solusi politik damai di bawah naungan negara Suriah,” kata Jumblatt. Ia menambahkan, ”Hanya ini yang dapat memulihkan kehidupan normal dan menutup babak berdarah ini.”
Jumblatt juga menyerukan rekonsiliasi antara suku Druze dan suku Badui setempat, yang bentrokannya telah memicu ketidakstabilan baru-baru ini, dan mengkritik pertikaian yang terus berlanjut di antara para pemimpin Druze, yang diwakili oleh tiga tokoh spiritual senior, yakni Hikmat al-Hijri, Hammoud al-Hinnawi, dan Youssef al-Jarbou.
Jumblatt menambahkan bahwa kepentingan Israel tidak bersifat protektif, melainkan justru destabilisasi. ”Israel tidak melindungi siapa pun. Israel hanya ingin memicu pertumpahan darah dan kekacauan lebih lanjut di Sweida dan Suriah secara umum,” tegas Jumblatt.
Ia mendesak para pemuda di Sweida, terutama mereka yang bersenjata, untuk mempertimbangkan bergabung dengan militer atau pasukan keamanan Suriah. Ia juga menyambut baik gencatan senjata yang diumumkan pada Selasa (15/7), dan menyebutnya sebagai ”langkah awal yang penting menuju ketenangan dan dialog.”
Namun, perlawanan masih berlanjut di lapangan. Syekh Hikmat al-Hijri, seorang tokoh spiritual Druze terkemuka di Suriah, menolak masuknya tentara dan pasukan keamanan Suriah ke Sweida dan menyerukan perlindungan internasional bagi wilayah tersebut.
Sedangkan Kementerian Dalam Negeri Suriah mengonfirmasi bahwa pasukannya telah memasuki pusat kota dan memperingatkan terhadap pelanggaran, sementara Menteri Pertahanan Murhaf Abu Qasra secara resmi mengumumkan gencatan senjata.
Sementara itu, Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa alias Abu Mohammed Al Julani telah mengeluarkan arahan untuk meminta pertanggungjawaban personel keamanan yang terlibat dalam pelanggaran ”tanpa memandang pangkat,” menyusul laporan lokal tentang eksekusi singkat, pembakaran, dan penjarahan oleh pasukan pro-pemerintah.
Serangan udara Israel terhadap Sweida bertepatan dengan pengerahan tentara, yang oleh banyak pengamat dilihat sebagai unjuk niat. Amichai Chikli, Menteri Urusan Diaspora Israel dan anggota partai berkuasa Likud, menyerukan pembunuhan Presiden Ahmad al-Sharaa dengan menyebutnya sebagai ”seorang teroris dan tukang jagal.” Chikli mengatakan: ”Jika dia terlihat seperti Hamas, berbicara seperti Hamas, dan bertindak seperti Hamas, dia adalah Hamas.”
Sedangkan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir terang-terangan menyebutkan kalau Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa alias Abu Mohammed Al Julani, dengan menganalogikan sebagai kepala ular yang harus dipenggal.
”Gambar-gambar mengejutkan dari Suriah. Sekali jihadis, tetap jihadis. Mereka yang membunuh, mencukur kumis, mempermalukan, memperkosa—tak perlu bernegosiasi. Satu-satunya yang bisa dilakukan terhadap Julani adalah melenyapkannya. Saya mencintai kaum Druze Israel dan mengirimkan pelukan hangat kepada mereka. Kita harus memenggal kepala ular itu !”
Pemerintah Suriah sendiri, pada Selasa (15/7) menegaskan kembali kendali penuh atas Provinsi Sweida, yang telah lama beroperasi dengan status semi-otonom. Langkah ini mengakhiri eksepsionalisme diam-diam selama bertahun-tahun yang mewarnai hubungan provinsi tersebut dengan Damaskus sejak awal pemberontakan tahun 2011.
Dilansir dari Caliber-Az, gencatan senjata yang diumumkan Menteri Pertahanan Suriah Muhraf Abu Qasra setelah berkonsultasi dengan pejabat tinggi dan pemimpin agama setempat, dimaksudkan untuk mengakhiri kekerasan yang telah berlangsung selama berhari-hari antara pasukan pemerintah dan kelompok bersenjata setempat. Polisi militer juga telah dikerahkan ke kota Suwayda untuk mengawasi keamanan dan mengatasi kemarahan publik atas laporan pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan.
Sedangkan Ahmad al-Dalati, kepala keamanan internal Suwayda, membenarkan intervensi tersebut diperlukan untuk mengekang pelanggaran hukum. ”Era baru dimulai hari ini,” ujarnya, seraya berjanji bahwa provinsi tersebut akan sepenuhnya berada di bawah otoritas negara Suriah.
Namun, legitimasi gencatan senjata telah dipertanyakan oleh tokoh-tokoh kunci dalam kepemimpinan agama Druze. Syekh Hikmat al-Hijri, seorang ulama terkemuka, menolak gencatan senjata dalam sebuah pidato video, menuduh pemerintah Suriah berkhianat dan menyerukan warga untuk melawan penindasan dan penghinaan.
Saat ini, perpecahan di antara para pemimpin Druze mencerminkan ketidakpastian yang lebih luas mengenai masa depan politik Suwayda. Meskipun beberapa tetua mendukung kerja sama dengan Damaskus, yang lain memandang tindakan pemerintah sebagai tindakan pemaksaan dan tidak sah.
Tokoh Druze,Walid Jumblatt, saat menyambut baik gencatan senjata, memperingatkan bahwa pertikaian yang berkelanjutan dan keterlibatan asing hanya akan memperdalam fragmentasi Suriah. ”Kerusuhan ini menguntungkan mereka yang ingin mengacaukan stabilitas Suriah,” ujarnya.
Lebih tajam lagi Jumblatt mengatakan Israel menggunakan sejumlah tokoh Druze untuk menimbulkan kerusuhan di Suriah dengan kedok melindungi komunitas Druze. Ia lantas mendesak kelompok-kelompok bersenjata untuk melucuti senjata dan Damaskus untuk mengupayakan rekonsiliasi politik yang inklusif.
Sementara itu, Tom Barrack, utusan khusus AS untuk Suriah, mengatakan Washington sedang berkomunikasi dengan para aktor lokal dan regional untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Ia menekankan bahwa setiap resolusi harus mempertimbangkan kebutuhan Damaskus, komunitas Druze, dan suku-suku Arab setempat, sekaligus mengatasi kekhawatiran keamanan Israel.
Fadel Abdulghani dari Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah menyoroti penyebab kerusuhan yang lebih mendalam, dengan menunjuk pada kegagalan Suriah dalam menerapkan pemerintahan yang inklusif. ”Ini bukan sekadar krisis keamanan,” ujarnya.
Saat ini, meskipun gencatan senjata telah diumumkan, kekerasan sporadis masih terus berlanjut, menggarisbawahi betapa rapuhnya perdamaian di wilayah yang dibentuk oleh keluhan yang kompleks, perebutan kekuasaan, dan pengaruh asing.
(Indra Bonaparte)

















