Jakarta, Aktual.com – Nasib kelanjutan Surat Pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang diajukan oleh Forum Purnawirawan TNI ke DPR RI masih tidak jelas kelanjutannya, meskipun desakan terus menguat. “Ya Prosesnya, itu masih dalam mekanisme yang ada,” kata Ketua DPR RI Puan Maharani usai Rapat Paripurna di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/7/2025)
Pengamat politik Subairi Muzakki menilai DPR RI justru harus segera merespon surat usulan pemakzulan terhadap Wapres Gibran yang disampaikan Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Membiarkan usulan tanpa keputusan akan menjadi Bom Waktu yang dapat memicu ketegangan politik di masa datang.
“Cegah penundaan yang berlarut. DPR sebaiknya menyikapi usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dengan pendekatan yang hati-hati, transparan, dan konstitusional untuk mencegah isu ini menjadi ‘bom waktu’ politik,” Kata Subair kepada Aktual.com, Jumat (18/7/2025).
Direktur Eksekutif Institut Demokrasi Republikan ini menambahkan, DPR bisa membacakan usulan tersebut di Sidang Paripurna kemudian membahasnya di Badan Musyawarah untuk diputuskan apakah perlu dibentuk panitia khusus atau tidak.
“Atau DPR bisa membentuk Pansus untuk menilai layak tidaknya usulan tersebut. Ini menunjukkan DPR responsif terhadap aspirasi publik tanpa terburu-buru mengeskalasi isu,” ujarnya.
Disisi lain Pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti melihat, fraksi fraksi di DPR belum bersikap terhadap surat Pemakzulan Wapres Gibran yang diajukan Forum Purnawirawan TNI, dan terkesan mendiamkan usulan tersebut atas dasar berbagai pertimbangan dan melihat sejauh mana isu ini diterima publik.
“Kalau ternyata makin membesar boleh jadi mereka mendorong lagi isu ini. Jadi isu ini dikotakkan dulu, disimpan dulu, kapan-kapan waktu, ya, mungkin bisa dikeluarkan. Isu ini semacam sandera politik yang menjelang Pilpres 2029 bisa dimainkan isunya,” ujar Rai kepada Aktual.com.
Ray menambahkan, fraksi fraksi partai politik di DPR bersikap seperti itu, karena untuk saat ini belum ada urgensi atau manfaat yang secara langsung didapatkan mereka. Baik bagi Partai Gerindra, PDIP maupun partai lainnya, merasa tidak perlu untuk segera membahas usulan tersebut.
Sementara itu Gugun El Guyanie, dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan, dalam ketentuan Tata Tertib DPR, tidak aturan yang pasti, jelas, dan detail terkait proses impeachment. Sehingga, wajar dan sah jika DPR seolah menunda pembacaan usulan pemakzulan itu di Sidang Paripurna.
“DPR juga tidak bisa serta merta membentuk panitia khususuntuk membahas usulan tersebut. Wajar usulan itu tidak bergerak, belum ada progres yang misalnya setelah ada usulan lalu dibacakan di Paripurna, membentuk Pansus, atau juga dibahas apakah dibentuk Pansus atau dihentikan,” urai Gugun.
Menurutnya, sikap DPR yang men-delay usulan itu tidak bisa juga dianggap melanggar konstitusi. Karena memang tidak ada ketentuan yang jelas di tata tertib (Tatib) yang menyatakan DPR harus memprosesnya dalam jangka waktu tertentu.
“Tidak ada secara Konstitusi DPR harus merespos usulan itu, kecuali Tatib-nya diubah, misalnya atas aspirasi masyarakat terkait dugaan pelanggaran Presiden atau Wapres maka maksimal dalam dua minggu harus segera merespon usulan itu,” paparnya.
Gugun menilai, tidak adanya aturan di Tatib terkait pemakzulan karena selama pasca amandemen belum ada inseden pengajuan ataupun usulan pemakzulan Presiden maupun Wapres.
“Jadi sangat sah kalau DPR men-delay usulan itu, karena secara Konstitusi tidak ada aturan apakah wajib merespon, tidak ada norma itu. Kecuali Tatib-nya segera disusun, dimasukkan ke Tatib untuk merespon semua usulan aspirasi masyarakat terkait pemakzulan,” ungkapnya.
Sehingga bisa saja penundaan pembacaan suart pemakzulan Gibran yang dismapikan Forum Purnawirawan TNI ini dijadikan kuncian politik fraksi fraksi partai politik yang ada di DPR, untuk kepentingan kedepan.
“Mereka merasa perlu ditabung sebagai bagian dari negosiasi politik. Ya menguntungkan bagi mereka kalau tidak segera membacakan nya. Menguntungkan juga bagi partai lainnya yang tidak mendesak untuk dibacakan,” jelasnya.
Upaya Meredam Bom Waktu
Sementara itu Direktur Eksekutif Institut Demokrasi Republikan Subairi menjelaskan, DPR perlu menyampaikan kepada publik bahwa usulan sedang ditangani sesuai prosedur, dan tetapi menegaskan bahwa pemakzulan membutuhkan bukti hukum kuat, dan dukungan politik mayoritas.
“Hal ini dapat meredam spekulasi dan tekanan dari kelompok seperti “anti-Jokowi” atau purnawirawan. Jadi DPR pun harus tetap penuhi prosedur konstitusionalnya untuk menunjukkan komitmen pada konstitusi, sambil menghindari eskalasi konflik politik,” ujarnya.
Pengamat Politik Lingkar Madani Ray Rangkuti, secara pribadi mendorong usulan pemakzulan Gibran segera dibacakan, dan dibahas di DPR. Selain bisa meredam gejolak dan spekulasi politik, dengan pembacaan surat Pemakzulan Gibran menurutnya, akan berlanjut pada pengungkapan akun fufufafa dan carut marut putusan Mahkamah Konsitusi ( MK) terkait batas umur Wapres yang dituntaskan.
“Saya mendorong ditindaklanjuti, khususnya berkaitan siapa fufufafa itu, dan carut marut penetapan putusan MK, bagi saya itu penting untuk diungkapkan dari sekarang,” jelas Ray.
Hal senada sebelumnya disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahad Doli Kurnia, ia menilai Surat Pemakzulan yang diajukan Forum Purnawirawan TNI yang diajukan ke DPR RI sebagai sebuah gerakan dan sikap politik yang tidak mudah dilakukan, karena harus mengikuti aturan hukum yang berlaku. Namun Doli tidak mempermasalahkan dorongan pemakzulan tersebut. Dan menurutnya DPR sebaiknya membacakan saja surat tersebut agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan.
“Menurut saya tadi sekali lagi biar engga digoreng goreng ke sana ke mari, bacakan, minta pendapat masing masing fraksi, jadi, jadi pendapat DPR. Kalau semua mayoritas bilang ini tidak memenuhi syarat. Selesai. Case close,” kata Doli di acara Satu Meja The Forum di Kompas TV, Rabu (10/7/2025) yang dikutip Aktual.com.
Rintangan Usulan Pemakzulan Gibran Sulit Disetujui DPR/MPR
Gugun El Guyanie, dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menilai usulan pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI sulit disetujui DPR/MPR RI. Kendala paling besar yang mengganjal adalah ketentuan persetujuan usulan pemakzulan sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. Yakni, harus dihadiri minimal 2/3 dari total 580 anggota DPR, atau sebanyak 387 orang. Dan, harus setujui oleh 2/3 dari anggota DPR yang hadir tersebut, atau minimal 258 anggota.
“Di Senayan, tersisa PKS dan PDIP yang belum menyatakan sikap bergabung dengan Pemerintah. PKS 53 kursi, PDIP 110 kursi. Kemungkinan hanya 163 anggota yang mendukung pemakzulan. Satu tahapan, satu pintu ini saja sudah kendala besar,” kata Gugun kepada Aktual.com.
Gugun menambahkan, jika memang usulan impeachment disetujui DPR maka selanjutnya usul tersebut akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena harus diuji dulu kebenarannya secara hukum oleh MK. Sesuai ketentuan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil presiden tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
“MK hanya mengobjektifikasi usulan itu, Kalau MK nanti misalnya, membenarkan dugaan DPR maka MK dalam putusannya hanya bisa membenarkan, tidak serta merta bisa memakzulkan. Masih ada proses politik lagi di MPR,” paparnya.
Dalam Pasal 7B ayat (5) UUD 1945, dijelaskan apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Selanjutnya proses yang sama terjadi di MPR, kata Gugun. Persetujuan impeachment harus melalui proses politik oleh 732 anggota MPR. Sesuai Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 yang menyebutkan, keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
“Memang, impeachment pasca amandemen UUD 1945 lebih kental jalur politik ketimbang hukumnya, dan tidak mudah,” ucap Gugun.
Sehingga, walaupun Forum Purnawirawan Prajurit TNI membawa dokumen, dan bukti-bukti awal dugaan pelanggaran Konstitusi oleh Wakil Presiden Gibran, proses selanjutnya adalah mampu atau tidakkah mereka meyakinkan tiap anggota DPR/MPR yang mayoritas berasal dari fraksi pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran menyetujuinya.
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















