Jakarta, Aktual.com — Pemerintah tengah menggulirkan proyek ambisius bernama Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih, dengan rencana pembiayaan jumbo mencapai miliaran rupiah per unit koperasi. Namun, di balik narasi besar pembangunan ekonomi kerakyatan, muncul kekhawatiran serius: potensi kegagalan sistemik jika koperasi-koperasi ini tidak dikelola secara transparan dan profesional.

Peringatan ini datang dari Eliza Mardian, peneliti ekonomi dari Centre of Reform on Economics (CORE), yang menyebut bahwa besarnya dana yang akan digelontorkan ke koperasi-koperasi desa perlu diimbangi dengan pengawasan dan keterbukaan laporan keuangan.

“Dana yang dikelola ini amat sangat besar. Perlu ada dashboard untuk monitoring dan evaluasi (monev), bukan hanya untuk internal, tapi juga bisa diakses publik,” ujar Eliza, Senin (21/7).

Menurut Eliza, setiap unit koperasi harus memiliki standar laporan keuangan layaknya perusahaan terbuka. Tujuannya jelas: mencegah risiko gagal bayar dan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang bisa berdampak sistemik terhadap keuangan negara, terutama karena proyek ini menyangkut dana dari bank milik negara (Himbara).

“Kalau koperasi gagal bayar, efek dominonya ke bank Himbara. Kalau bank Himbara default, jaminannya adalah dana desa. Artinya, risiko ini bisa menghantam jantung ekonomi desa,” tegas Eliza.

Mimpi Mulia, Eksekusi Rawan Celaka
Presiden Prabowo Subianto telah meresmikan kelembagaan Koperasi Desa Merah Putih pada Senin lalu di Desa Bentangan, Klaten. Pemerintah menargetkan pendirian 80 ribu unit koperasi di seluruh desa dan kelurahan Indonesia. Sebanyak 108 koperasi percontohan sudah disiapkan dan akan mulai menerima pembiayaan dari Himbara lewat skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus mulai 22 Juli 2025.

Dengan plafon kredit mencapai Rp3 miliar per koperasi, bunga rendah 6 persen, dan tenor 6 hingga 10 tahun, proyek ini tampak menjanjikan di atas kertas. Ditambah lagi, adanya masa tenggang (grace period) selama enam bulan agar koperasi tidak langsung terbebani cicilan.

Namun di balik insentif manis itu, CORE melihat risiko tersembunyi jika pengurus koperasi tidak memiliki kapasitas dan integritas memadai.

“Petani, nelayan, warga boleh jadi anggota, tapi pengurus koperasi tidak bisa sembarangan. Harus profesional, punya pengetahuan manajemen dan bisnis. Ini bukan proyek kecil-kecilan,” kata Eliza.

Risiko Moral dan Potensi Korupsi
Kekhawatiran makin besar ketika melihat riwayat berbagai koperasi yang kolaps akibat salah urus atau disalahgunakan. CORE menilai, jika tidak dikawal sejak awal, proyek ini berpotensi menjadi ladang moral hazard — penyimpangan pengelolaan yang mengabaikan prinsip kehati-hatian karena merasa dijamin negara.

Tak hanya itu, potensi korupsi dana KUR dalam sistem koperasi tertutup juga bisa jadi bom waktu, terutama jika tidak ada sistem audit dan pelaporan keuangan yang terbuka dan mudah diakses masyarakat.

Investigasi lanjutan perlu dilakukan terhadap koperasi percontohan yang telah terbentuk, termasuk siapa saja pengurusnya, bagaimana rekam jejak bisnisnya, dan sejauh mana kesiapan sistem keuangannya.

Mendesak: Audit Independen dan Portal Transparansi
Sebagai jalan tengah, CORE merekomendasikan agar pemerintah:

  • Mewajibkan audit eksternal independen untuk semua koperasi yang menerima dana KUR.
  • Membangun portal online yang menampilkan laporan keuangan koperasi secara periodik dan bisa dipantau publik.
  • Memberikan pelatihan intensif dan sertifikasi kepada seluruh pengurus koperasi sebelum mereka menerima dana.

“Tanpa kontrol publik, proyek sebesar ini bisa berubah jadi skandal keuangan dalam hitungan tahun,” tutup Eliza.