Aktual.com, Jakarta – Fenomena Wakil Menteri (Wamen) rangkap sebagai komisaris dan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai banyak kritik. Pengamat ekonomi Nailul Huda menilai fenomena rangkap jabatan ini sebagai sesuatu yang keliru, dan hanya menguntungkan ‘bandit’ semata, dimana rangkap jabatan akan menimbulkan conflict of interest yang melibatkan regulator dan operator.
“Wamentan, selaku regulator, akan berperan juga sebagai “pengawas” langsung operator dengan jabatan komisaris. Tidak kah lucu nanti Kementerian Pertanian harus memanggil komisaris utama PT Pupuk Indonesia Persero, yang notabene adalah Wakil menteri Kementerian Pertanian. Bisa apa pejabat eselon 1-4 menghadapi hal itu?” ujar Nailul kepada aktual.com.
Karena itu, Nailul berharap pemerintah mencopot wamen yang rangkap jabatan, karena pada dasarnya sudah menyalahi hukum ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur bahwa wakil menteri tidak boleh rangkap jabatan seperti Menteri.
Direktur Ekonomi CELIOS ini menegaskan, BUMN sebagai badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Maka, sudah seharusnya pengisian kursi direksi atau pun komisaris melalui seleksi kualitas individu untuk menjaga kualitas BUMN-nya sendiri.
“Jika tidak, maka pengelolaan akan sangat tidak profesional dan jauh dari kata good corporate governance (GCG),” jelasnya.
Baca Juga:
Wamen Rangkap Jabatan, Rakyat Di anak Tirikan
Sementara itu pengamat kebijakan public Kusfiardi menyikapi bagi-bagi kursi komisaris ataupun direksi di BUMN terhadap para Wamen tanpa ada kompetensi, merupakan fenomena lama yang merugikan, karena akan berdampak pada citra pemerintah dan kinerja BUMN itu sendiri.
“Persoalan lama, setiap rezim terjadi (bagi-bagi posisi komisaris dan direksi di BUMN tanpa sesuai kompetensi, serta rangkap jabatan wamen di BUMN, red). Satu hal yang penting adalah soal tata kelola. Bagaimana pengaturan tata kelola BUMN kita, itu penting, menunjukkan adanya kredibiltas dan meyakinkan publik bahwa BUMN dikelola secara baik,” paparnya.
Analis Ekonomi Politik dan Co-Founder Fiscal and Monetary (FINE) Institute ini menyampaikan, fenomena bagi-bagi kursi komisaris dan direksi yang asal tunjuk hanya mengutamakan gerbong politik penguasa, hal ini sudah menjadi keresahan publik.
“Keresahan publik ini tidak semata-mata soal bagaimana posisi-posisi itu dibagi-bagi, tapi bagaimana BUMN bisa berperan sebagaimana mestinya, dan fungsinya,” jelasnya.
Baca Juga:
Urgensi 30 Wamen Rangkap Jabatan Dipertanyakan
Selain itu keresahan ditimbulkan oleh regulasi yang ada dimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melarang adanya rangkap Jabatan Para menteri dan Wakilnya, namun istana bahkan DPR membantah rangkap jabatan para Wamen melanggar putusan MK.
“Jadi ini tidak nyambung antara kegelisahan dan keresahan publik dengan penyelenggara negara,” ungkapnya.
Kondisi ini juga menjadikan publik berpikir tidak akan ada perubahan di BUMN, baik dalam pengisian posisi komisaris dan direksi, kinerja, maupun kontribusi bagi perekonomian nasional. “Padahal kan harusnya bisa lebih baik dalam perekonomian kita, tidak hanya menghasilkan barang dan jasa tapi juga menciptakan lapangan kerja,” ucapnya.
Pengisian Kursi Komisaris dan Direksi Harus Tegas Diatur di UU BUMN
Analis Ekonomi Politik dan Co-Founder Fiscal and Monetary (FINE) Institute Kusfiardi menjelaskan Pasal 33 UUD 1945 merupakan konstruksi kenapa BUMN hadir. Karena itu, perlu dipertegas tata Kelola siapa yang boleh dan tidak boleh, bagaimana mekanismenya, termasuk pembentukan struktur komisaris dan direksi dalam UU BUMN dan UU terkait seperti UU Kementerian/ lembaga yang mengatur kedudukan pejabat negara.
“Perlu dibuat ketegasan supaya tidak ada ruang abu-abu, apalagi terkait posisi yang jelas melalui penunjukkan politik, seperti menteri/wamen. Kalau bercampur dengan BUMN maka ada celah, karenanya aturan di kedua UU itu perlu direvisi,” katanya.
Menurutnya selama itu, UU BUMN hanya menyebut jenis-jenis BUMN, tata cara pembentukan kepengurusan, privatisasi BUMN. Tapi tidak bicara tentang tata kelola dan mandat Konstitusional keberadaan BUMN itu sendiri.
“Jadi memang ada ketidakjelasan regulasi yang mesti dipertegas supaya tidak menjadi celah abuse of power di BUMN,” ungkapnya.
Baca Juga:
Jabatan Ganda Wamen Disorot, MK Keluarkan Putusan Final
Selain itu, akan banyak kesulitan ketika BUMN masih dikelola seperti sekarang. Terlebih, bila pengisian kursi komisaris dan direksi BUMN asal tunjuk, dan tanpa melihat kompetensi, maka semakin jauh dari tujuan pendirian BUMN.
Dengan kondisi ini menurutnya, akan banyak kesulitan ketika BUMN masih dikelola seperti sekarang. Terlebih, bila pengisian kursi komisaris dan direksi BUMN asal tunjuk, dan tanpa melihat kompetensi, maka semakin jauh dari tujuan pendirian BUMN.
Pengamat ekonomi Nailul Huda menegaskan, pengisian posisi direksi ataupun komisaris di badan usaha milik negara (BUMN) hendaknya menjunjung tinggi kapabilitas dan kapasitas individu. Menurut Direktur Ekonomi CELIOS ini, BUMN sebagai badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim.
“Maka, sudah seharusnya pengisian kursi direksi ataupun komisaris melalui seleksi kualitas individu untuk menjaga kualitas BUMN-nya sendiri,” jelasnya.
Karena itu, Nailul berharap pemerintah mencopot Wamen yang rangkap jabatan karena pada dasarnya sudah menyalahi hukum ketetapan MK yang mengatur bahwa wakil menteri tidak boleh rangkap jabatan seperti Menteri.
BUMN Harus Mampu Hadapi Isu Global dan Siapkan Lapangan Kerja
Kondisi BUMN menentukan sikap negara, pertumbuhan ekonomi hingga peluang membuka lapangan kerja baru ditengah badai PHK dan kondisi geopolitik yang ada. Sehingga, publik berpikir tidak akan ada perubahan di BUMN, baik dalam pengisian posisi komisaris dan direksi, kinerja, maupun kontribusi bagi perekonomian nasional jika ada rangkap jabatan Wamen dan balas jasa politik dengan menepatkan orang tidak kompeten dalam posisi tersebut.
“Padahal kan harusnya bisa lebih baik dalam perekonomian kita, tidak hanya menghasilkan barang dan jasa tapi juga menciptakan lapangan kerja,” kata Analis Ekonomi Politik dan Co-Founder Fiscal and Monetary (FINE) Institute Kusfiardi.
Penyerapan tenaga kerja ini sangat penting di mana angka pengangguran di Indonesia yang masih tinggi, dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pascakebijakan impor tarif Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia.
Kekhawatiran akan gelombang PHK dan minimnya lapangan kerja pasca putusan tarif yang dikeluarkan Amerika Serikat (AS) pun disampikan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban kepada Aktual.com.
“Kami dari para buruh mengetuk hati pemerintah untuk concern terhadap para buruh. Kami ini kan sebagai pekerja formal jumlahnya hanya 45 persen dari seluruh pekerja, nasibnya pun tidak indah sekali, tidak firm akan kerja berapa tahun, tiap tahun selalu dibayangi PHK,” papar Elly.
Baca Juga:
Indonesia darurat PHK, Puan Minta Pemerintah Respons Dengan Strategi Konkret
Apalagi, kata Elly, pascakeputusan tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia, nasib buruh pun menjadi semakin tidak jelas. Keputusan AS yang disebutnya tidak adil bagi Indonesia itu, sebagian sudah menjadi riak yang menakutkan bagi perusahan-perusahaan padat karya.
“Ujungnya kan buruh. Beberapa teman buruh, terutama Perempuan yang bekerja di padat karya, sudah menyampaikan bahwa perusahaan mereka mungkin akan tutup karena ada kebijakan tarif itu, karena kemungkinan tidak ada lagi orderan lagi,” kata Elly.
Menurut Elly, adanya kebijakan tarif AS itu membuat hidup para buruh tidak pernah tenang, karena kapan pun mereka terancam terkena PHK dan menganggur. Karena itu, Elly meminta Pemerintah bekerja kerja dengan melakukan asesmen terhadap perusahaan-perusahaan yang akan memutus hubungan kerja dengan para pekerja.
“Jangan tiba-tiba hari ini bekerja, minggu depannya tidak masuk kerja karena perusahaannya ditutup, kan itu tidak masuk akal. Tidak mungkin perusahaan tidak tahu neraca keuangannya akan bertahan sampai berapa lama,” harapnya.
Baca Juga:
Right Man in the Wrong Place: Panggung Sandiwara Meritokrasi di Kursi Komisaris BUMN
Beberapa BUMN yang dikabarkan masih merugi dan menjadi tanggung jawab Kementerian BUMN diantaranya:
1. PT. Garuda Indonesia Tbk (GIAA)
Perusahaan penerbangan nasional plat merah ini dalam laporan keuangannya terakhir, mencatat kerugian sebesar Rp 2,06 triliun pada kuartal III 2024.
2. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
Perusahaan baja nasional ini sempat menjalani restrukturisasi pada 2019, tetapi kembali mengalami kemunduran akibat insiden kebakaran pada 2023 yang mengganggu proses produksi.
3. PT Bio Farma (Persero)
Sebagai produsen vaksin nasional, Bio Farma memegang peranan penting dalam masa pandemi, namun laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan Bio Farma telah mengalami kerugian senilai Rp 9,13 miliar akibat pengembangan vaksin yang tidak optimal.
4. PT. Indofarma
Perusahan plat merah yang bergerak dibidang farmasi dan alat kesehatan ini dalam laporan keuangannya hingga kuartal III 2024 masih mengalami kerugian hingga Rp 166,48 miliar.
5. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (Wika)
Wika mencatatkan kerugian sebesar Rp 7,12 triliun sepanjang 2023. Untuk menyelamatkan keuangan perusahaan, pada 2024, Wika menjalani restrukturisasi utang dengan 11 lembaga keuangan dengan nilai total mencapai Rp 24,2 triliun. Tantangan terbesar yang dihadapi Wika adalah keterlambatan pembayaran proyek dan pembengkakan biaya konstruksi.
6. PT Waskita Karya (Persero)
Waskita Karya mencatatkan kerugian sebesar Rp 3 triliun. Penurunan pendapatan dari proyek-proyek infrastruktur dan tingginya beban operasional menjadi penyebab utama kerugian perusahaan ini.
7. PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
Perusahaan asuransi ini terlibat dalam skandal korupsi besar yang mengakibatkan kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah.
8. PT.Perum Perumnas
Sebagai pengembang perumahan nasional, Perumnas menghadapi masalah likuiditas dan pengelolaan proyek yang tidak efisien. Berdasarkan Laporan Keuangan 2023, perusahaan mencatat rugi tahun berjalan sebesar Rp 95,96 miliar.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















