Oleh Yarifai Mappeaty

Pemerhati Pangan dan Sosial Politik.

UNTUK mewujudkan swasembada pangan dalam masa pemerintahannya, tak tanggung-tanggung, Presiden Prabowo sampai membentuk tim pangan dengan memakai nomenklatur “pangan”. Selain Kemenko Pangan dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), juga ada Satgas Pangan TNI dan Satgas Pangan Polri. Mereka bahu membahu dengan Kementan sebagai core team untuk mempercepat proses itu.

Hingga memasuki semester dua 2025, secara umum, kinerja Tim Pangan Prabowo itu dinilai cukup baik. Terbukti sejak Maret hingga akhir Juli 2025, tak terdengar khabar jikalau Pemerintah melakukan import beras. Hal ini menunjukkan bahwa produksi beras dalam negeri lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Sebagai punggawa Tim Pangan, Mentan Andi Amran Sulaiman pun mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari Presiden Prabowo sendiri. Tentu tidak ada yang salah. Bahkan apresiasi semacam itu, sangat lumrah diberikan kepada sosok yang paling bertanggung jawab terhadap produksi bahan makanan pokok bagi 270 juta lebih penduduk negeri ini.

Tetapi ternyata ada saja pihak yang tak senang terhadapnya terkait beberapa langkah taktis yang dilakukannya. Ia bahkan dituding melakukan pencitraan. Tudingan itu tak main-main, karena dilontarkan di gedung parlemen Senayan. Rupanya ada yang merasa terganggu pada sikap sang Menteri.

Lantas, benarkah Andi Amran melakukan pencitraan? Kalaulah itu benar, maka kira-kira tujuannya apa? Ada pihak mencoba mengaitkannya dengan politik elektoral untuk kepentingan suksesi kepemimpinan nasional 2029. Oh alamak, tudingan semacam itu terlalu genit dan sungguh tidak bijak kalau tak disebut naif.

Mengapa? Sebab sistem demokrasi one man one vote yang kita anut di tengah primordialisme Jawa yang masih sangat kental, membuat orang Luar Jawa nyaris tak punya peluang untuk menjadi Wapres, apa lagi Presiden. Sadar akan realitas itu, maka sebagai orang Luar Jawa, Andi Amran pun tentu tahu diri. Jika demikian halnya, maka apa perlunya melakukan pencitraan?

Kesadaran semacam itu juga mengingatkan pada seorang Luhut Binsar Panjaitan. Pada suatu kesempatan ngobrol dengan Rocky Gerung di sebuah Channel YouTube, Ia mengungkapkan bahwa orang luar Jawa jangan pernah bermimpi menjadi presiden di Indonesia. Luhut, benar. Setidaknya, Jusuf Kalla sudah pernah mencobanya dan gagal.

Selain itu, menjadikan petani sebagai basis konstituen dalam konteks politik elektoral, sebenarnya tak terlalu menguntungkan. Sebab menurut sensus pertanian 2023, jumlah petani tak sampai 30 juta. Jika dibandingkan dengan jumlah pemilih 2024, maka hanya sekitar 15%. Dan hampir setengahnya ada di Jawa.

Pertanyaannya, apa kira-kira logis jika kemudian Mentan Amran membuat kebijakan dengan motif mengambil hati petani untuk kepentingan politik elektoralnya? Tidak. Karena hal itu sama saja bunuh diri. Sebab bayangkan, boleh jadi di satu sisi dielukan petani, tetapi di sisi lain, Ia dimaki oleh konsumen, yang jumlahnya justeru jauh lebih besar.

Tengok kebijakan kenaikan harga gabah, misalnya. Itu adalah kebijakan pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), bukan kebijakan Kementan. Tetapi Petani dan konsumen hanya tahu kalau itu adalah kebijakan Kementan. Apa dampaknya? Andi Amran selaku Menteri Pertanian, mungkin saja disenangi petani, tetapi tidak bagi konsumen.

Mengapa? Sebab konsumen pada umumnya mengira bahwa kenaikan harga beras yang terjadi, dipicu oleh kenaikan harga gabah. Dengan kata lain, siapapun yang menjabat Menteri Pertanian untuk saat ini, sama sekali tidak menguntungkan secara politik praktis. Malahan, salah sedikit menuai makian. Serba salah, bukan?

Lalu di mana letaknya sampai Mentan Amran dituding pencitraan? Boleh jadi karena Ia dinilai paling ngotot mempersoalkan beras oplos yang dianggap bukan domainnya. Orang boleh saja beranggapan seperti itu, tetapi jangan lupa kalau Kementerian Pertanian merupakan anasir utama dari Tim Pangan Nasional, sehingga sah-sah saja kalau ia berdiri paling depan.

Dengan demikian, tudingan Mentan Amran melakukan pencitraan, itu bersumber dari pikiran genit yang sama sekali tidak berdasar. Sedangkan pikiran-pikiran genit hanya melahirkan kekisruhan.