Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya. Aktual/DOK DPR RI

Jakarta, Aktual.com – Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya menegaskan pentingnya penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang olahan intermediate di sektor mineral strategis. Menurutnya, kebijakan tersebut merupakan langkah mendesak guna meningkatkan daya saing industri nasional dan menarik lebih banyak investasi asing.

“PPN pada barang olahan intermediate meningkatkan biaya produksi dan memperlambat arus kas industri karena proses restitusi yang memakan waktu lebih dari 90 hari. Bahkan untuk industri berorientasi ekspor, meskipun PPN ekspor tarifnya 0 persen, mereka tetap harus menanggung PPN masukan di dalam negeri sebelum mendapatkan restitusi,” ujar Bambang di Jakarta, Selasa (29/7).

Bambang mengkritisi lambatnya proses refund PPN di Indonesia yang dinilai membuat produk ekspor nasional kalah bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand.

“Vietnam memproses refund dalam 6–40 hari, Thailand maksimal 15 hari. Sementara di Indonesia, rata-rata lebih dari 90 hari. Ini jelas mengurangi keunggulan kompetitif kita di kawasan ASEAN,” ungkapnya.

Legislator asal Bangka Belitung itu menilai kebijakan fiskal saat ini justru menjadi penghambat industrialisasi dan hilirisasi nasional. Ia menekankan bahwa PPN seharusnya dikenakan hanya pada produk akhir, bukan pada bahan baku atau barang olahan di tengah rantai produksi.

“Jika pajak dikenakan di awal rantai produksi, beban biaya akan menumpuk dan menggerus daya saing industri nasional,” jelasnya.

Bambang juga mengungkapkan perbandingan tarif dan kebijakan PPN di negara-negara ASEAN seperti Vietnam Tarif PPN 10%, ekspor dan sektor prioritas zero-rated, refund 6–40 hari, Thailand, Tarif VAT 7%, bebas PPN untuk bahan baku ekspor di Free Trade Zone, refund maksimal 15 hari. dan Indonesia, Tarif PPN 11%, berlaku di seluruh rantai produksi, refund rata-rata >90 hari.

Ia memperingatkan bahwa tanpa reformasi fiskal yang tepat, proyek hilirisasi dan investasi strategis di Indonesia berpotensi pindah ke negara-negara tetangga.

“Padahal, penghapusan PPN intermediate bisa menurunkan biaya produksi 8–12 persen di sektor mineral strategis seperti ferronikel, timah ingot, dan produk olahan lainnya,” tegas Bambang.

Meski kebijakan ini berpotensi menurunkan penerimaan negara hingga Rp110 triliun per tahun, Bambang menilai dampak tersebut masih bisa dikompensasi melalui peningkatan basis pajak dari masuknya investasi baru, PPh badan, dividen BUMN, hingga pajak karbon.

“Insentif fiskal harus dilihat sebagai strategi jangka panjang untuk mendorong industrialisasi nasional,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mendorong digitalisasi penuh dalam proses restitusi PPN dengan Service Level Agreement (SLA) maksimal 30 hari.

“Jika kita ingin menjadikan Indonesia sebagai basis manufaktur ASEAN, kebijakan fiskal harus agile, efisien, dan pro-hilirisasi,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano