Beijing, Aktual.com – China secara terbuka melawan ancaman Amerika Serikat yang akan memberlakukan tarif hingga 500 persen bagi setiap negara yang tetap membeli minyak dari Rusia. Beijing menegaskan tidak akan pernah tunduk pada tekanan AS, dan akan tetap menjalankan kebijakan energinya sesuai kepentingan nasional.
Bahkan Beijing memperingatkan Washington bahwa ”paksaan dan tekanan tidak akan menghasilkan apa-apa”. ”Kami memutuskan sendiri apa yang kami beli. Kami tidak akan menyerah atas kedaulatan energi kami,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, dalam merespon ”gertakan” Trump beberapa waktu lalu.
Pihak Beijing juga mengatakan langkah AS itu dianggap sepihak, dan justru berisiko menciptakan gejolak baru di pasar global. ”Tembok tarif tidak menghasilkan pemenang,” ujar Jiakun.
Dilansir dari Times of India, peringatan kepada AS itu disampaikan jubir Kemenlu China, Guo Jiakun yang menulis di akun X-nya. ”Perang tarif tidak memiliki pemenang. Paksaan dan tekanan tidak akan menghasilkan apa-apa,” tulis Jiakun.
Ia menambahkan bahwa China ”dengan tegas mempertahankan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunannya,” dan akan terus mengamankan pasokan energinya dengan cara-cara yang melayani kepentingan nasional.
Pernyataan itu muncul setelah Menteri Keuangan AS, Scott Bessent memperingatkan para pejabat China selama perundingan dagang di Stockholm, Swedia, bahwa AS dapat mengenakan tarif yang signifikan jika Beijing terus membeli minyak Rusia yang dikenai sanksi.
Menurut The Straits Times, Bessent memberitahukan pihak China, bahwa undang-undang baru di Kongres AS dapat mengesahkan tarif hingga 500 persen pada negara-negara yang membeli minyak Rusia, dan dapat mendorong para sekutu AS untuk mengikutinya, dalam upaya terkoordinasi untuk mencekik pendapatan energi Moskow.
Menurut kantor berita ANI, peringatan itu juga mencakup keberatan AS terhadap pembelian minyak Iran oleh China dan penjualan teknologi dwiguna senilai lebih dari 15 miliar dolar AS ke Rusia, hal-hal yang menurut Washington telah memperkuat operasi militer Moskow di Ukraina.
Meskipun retorikanya tajam, Bessent menilai perundingan dua hari AS-Tiongkok di Swedia berjalan ”konstruktif”, dengan kedua belah pihak menyatakan kesediaan untuk menjajaki perpanjangan jeda tarif saat ini, yang berakhir pada 12 Agustus nanti.
Menurut kantor berita AP, pejabat perdagangan China, Li Chenggang mengonfirmasi bahwa kedua negara telah sepakat untuk memperpanjang gencatan tarif dan akan mempertahankan kontak erat untuk mengatasi masalah perdagangan.
AS sendiri telah menyelesaikan perjanjian perdagangan dengan mitra-mitra utama seperti Inggris, Jepang, dan Uni Eropa setelah pengumuman tarif ”Hari Pembebasan” yang luas oleh Presiden AS Donald Trump awal tahun ini. Namun, kesepakatan komprehensif dengan China masih sulit dicapai.
Perwakilan dagang AS, Jamieson Greer, yang berbicara di MSNBC, mengakui adanya ketegangan yang sedang berlangsung, tetapi menggambarkan China sebagai ”sangat pragmatis”, walau perundingan tersebut ”berjalan ke arah yang benar”.
Untuk diketahui, sikap China yang berani ini adalah respon pernyataan Presiden AS Donald Trump yang memperingatkan bahwa negara-negara mitra dagang Rusia, termasuk China, India, dan Brasil bisa dikenai tarif sekunder minimal 100 persen, dan bahkan naik lima kali lipat menjadi 500 persen, jika Rusia tidak menghentikan agresinya di Ukraina dalam 10 hingga 12 hari. Sanksi ini disebut akan mulai diterapkan paling cepat awal Agustus 2025.
Saat ini, pasar minyak dunia langsung merespons. Harga minyak dunia tercatat melonjak lebih dari 3 persen hanya beberapa jam setelah pernyataan Trump dan penolakan China dirilis. Ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia ini meningkatkan kekhawatiran pasar akan potensi gangguan pasokan.
Sikap keras China menunjukkan posisinya yang tidak mau didikte dalam urusan energi. Dengan konsumsi domestik yang tinggi dan kebutuhan suplai jangka panjang, Rusia tetap menjadi mitra strategis bagi China terlepas dari tekanan barat.
Untuk diketahui pula, ketegangan soal energi ini muncul di tengah situasi perdagangan yang juga tak kalah panas. Masa jeda tarif tambahan antara AS dan China akan berakhir pada 12 Agustus 2025 mendatang. Jika tidak ada perpanjangan, maka rata-rata tarif atas produk China bisa kembali naik dari posisi saat ini yang sudah mencapai 51,1 persen. Menkeu AS Scott Bessent menegaskan belum ada keputusan perpanjangan hingga Presiden Trump menyetujui secara langsung. Artinya, ruang negosiasi makin sempit.
(Indra Bonaparte)

















