Mantan Wakapolri Komisaris Jenderal (Komjen) Pol (Purn) Oegroseno saat diskusi aktualforum dengan tema “Membedah Pasal Keusial Di RKUHAP” di Warung Aceh Garuda, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (2/8/2025). Aktual/TINO OKTAVIANO

Jakarta, aktual.com – Mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komjen Pol Purn. Oegrosno, menyampaikan kritik tegas terhadap sejumlah istilah yang digunakan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ia menilai bahwa pengaturan terkait penyidik dalam draf RKUHAP masih membingungkan dan berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antar lembaga penegak hukum.

Dalam forum diskusi oleh aktual forum yang bertajuk “Membedah Pasal Krusial di RKUHAP” yang digelar Sabtu (2/8), Oegrosno menyoroti istilah “penyidik tertentu” yang tercantum dalam daftar permasalahan RKUHAP. Menurutnya, istilah ini tidak memiliki kejelasan baik dari segi subjek, lembaga, maupun jenis kasus yang dimaksud.

“Penyelidikan, sama baca sebagian di daftar permasalahan RKUHAP ada penyidik Polri, ada penyidik PNS, ada penyidik tertentu. Nah penyidik tertentu ini apa? tertentu orangnya, lembaganya, kasusnya. Ini mengambang, tidak jelas,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa di struktur kejaksaan pun belum terdapat unit penyidik yang khusus menangani perkara tertentu. “Padahal di kejaksaan hanya ada Jampidum, Jampidsus, Jampidter belum ada. Jadi maksud tertentu ini apa? Mesti diperhatikan,” katanya, sembari mengingatkan agar pemerintah dan DPR tidak gegabah menggunakan istilah-istilah tanpa kepastian hukum yang kuat.

Oegrosno menyarankan agar penyebutan jenis penyidik disederhanakan saja menjadi “penyidik pidana umum” dan “pidana khusus”, guna menghindari tarik-menarik kewenangan antar instansi. “Kenapa semuanya itu tidak disebut penyidik pidana umum, tidak usah pakai ‘tertentu’ lagi, pakai saja pidana khusus. Jadi tidak tarik-tarikan lagi, nanti ada yang ditangani Polri, Satpol PP, atau yang lain,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mempertanyakan kejelasan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam struktur penyidikan versi RKUHAP. “KPK itu masuk tidak pidana tertentu atau penyidik pegawai sipil atau penyidik Polri jadi tidak jelas,” kata Oegrosno. Menurutnya, ketidakjelasan ini dapat berujung pada kekacauan koordinasi antar lembaga penegak hukum, terutama dalam kasus-kasus yang bersifat lintas sektoral.

Ia pun menekankan pentingnya perumusan ulang terhadap pasal-pasal krusial sebelum RKUHAP disahkan menjadi undang-undang. “Hal-hal seperti ini mesti dirumuskan lagi, tidak harus bongkar semua, saya yakin kalau masih seperti itu akan berantarakan,” tuturnya.

Kritik juga dilontarkan terhadap istilah “penyidik pembantu” yang masih digunakan dalam RKUHAP. Oegrosno menyebut istilah tersebut sudah tidak relevan dengan sistem hukum pidana yang profesional dan terstruktur. “Kemudian ada istilah penyidik pembantu, jadi sebutan istilah penyidik pembantu mungkin mengacu kepada polisi sebagai pembantu jaksa kan itu dihilangkan. Jadi bagi saya sudah tidak ada penyidik pembantu, apa bedanya tugas penyidik dengan penyidik pembantu,” katanya.

Ia mempertanyakan logika operasional dari penyidik pembantu yang mungkin hanya melakukan pemeriksaan sementara penyidik utama yang menandatangani. “Apa nanti tugas penyidik pembantu meriksa kemudian penyidik tanda tangan. Nah ini tidak jelas, jadi harus dihapuskan saja, tidak ada penyidik pembantu,” pungkasnya.

“Jadi menurut saya RKUHAP tidak perlu-perlu dibongkar, perlu ada pemikiran yang komprehensif disitu,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain