Jakarta, Aktual.com – Kinerja kabinet yang gemuk terus dipertanyakan publik. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memaparkan, selain karena faktor kinerja, reshuffle kabinet juga perlu dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan efisiensi anggaran seperti yang selalu disampaikan.
Untuk menerapkan efisiensi anggaran, Dedi menilai Presiden Prabowo perlu merombak jabatan Menteri, terutama Wakil Menteri (Wamen) yang tidak produktif karena hanya menjadi beban anggaran negara.
“Perlu adanya penghapusan jabatan Wamen yang semestinya tidak perlu. Hasil kinerja pun tidak akan lambat karena efektifitas birokrasi bisa dijalankan. Atau menukar posisi Wamen ke Menteri jika memang terbukti wamen lebih responsif dibanding menterinya,” paparnya.
Selain itu menurut Dedi, perlu ditimbang kembali untuk meringkas kabinet, agar tidak obesitas jumlah kementerian/lembaga. Banyaknya jumlah Kementerian hanya memboroskan anggaran, dan tidak membawa dampak baik atau mendukung percepatan pembangunan.
Bahkan ia melihat beberapa kementerian baru yang tugas dan fungsinya tidak jelas. Kementerian baru tersebut sebenarnya bisa disatukan dengan kementerian atau lembaga lain, agar tugas fungsinya jelas dan tidak menjadi beban keuangan negara.
“Seperti Kementerian HAM dan Kementerian Kebudayaan, dua pos ini terkesan tidak miliki fungsi selain hanya hamburkan anggaran negara. Tidak saja posisi menterinya, tetapi lembaga kementeriannya juga tidak diperlukan, mengingat sudah ada kementerian hukum yang seharusnya mampu menangani persoalan HAM,” jelasnya.
Selain itu ia mendesak Presiden Prabowo tegas mereshuffle Menteri bermasalah dan diduga terkait kasus hukum, seperti Budi Arie yang disebut sebut dalam persidangan terkait kasus judi online (Judol). Tak hanya itu, menurutnya Budi Arie tidak mempunyai kapasitas sebagai Menteri Koperasi, ini terlihat dari kontroversi pembentukan Koperasi Merah Putih, yang viral karena tutup hanya beberapa jam setelah diresmikan.
“Jika Budi Arie dipertahankan dengan skandal yang menjeratnya, Presiden Prabowo bisa dianggap ikut menikmati peran Budi Arie atas kasus kriminalnya,” ucapnya.
Baca Juga:
Desakan Reshuffle Menteri Rasa Jokowi dan Sikap Presiden Prabowo
Disisi lain Analis Ekonomi Politik Kusfiardi menyoroti enam Kementerian bidang ekonomi di Kabinet Merah Putih bentukan Prabowo Subianto. Keenam Kementerian itu yakni, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Keuangan, Kementerian Investasi/BPKM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN.
Menurut Co-Founder FINE Institute ini, persoalan di enam Kementerian tersebut membuat pembangunan ekonomi cenderung hanya dikejar dari sisi pertumbuhan dan akumulasi modal. Sementara ketimpangan struktural terus melebar dan kapasitas produksi nasional tidak diperkuat secara sistematis.
“Di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, koordinasi kebijakan ekonomi masih didominasi oleh pendekatan teknokratik yang terlalu fokus pada narasi pertumbuhan dan kemudahan investasi,” papar Kusfiardi.
Ia pun menilai tidak terlihat adanya kerangka kerja yang sistematis untuk menanggulangi ketimpangan struktural atau memperkuat basis produksi nasional. Peran koordinatif lebih bersifat administratif, bukan strategis.
Catatan Menteri Bidang Ekonomi Yang Perlu Dikocok Ulang
Kondisi pertumbuhan ekonomi masih mengkhawatirkan, hal memicu publik dan pengamat mempertanyakan dan membuat catatan terhadap kinerja para menteri Kabinet Merah Putih yang membidangi perekonomian, Catatan muncul dari Co-Founder FINE Institute Kusfiardi.
Ia memeberikan catatan kepada Kementerian Keuangan, Kusfiardi melihat, fokus Sri Mulyani masih tertumpu pada pengendalian defisit dan manajemen utang, dengan pendekatan fiskal yang konservatif. Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) stagnan di angka 10,2 persen, menunjukkan lemahnya kinerja dalam meningkatkan penerimaan negara.
“Jauh dari ideal untuk menjalankan fungsi redistribusi dan pembiayaan layanan publik. Program belanja sosial juga tidak cukup kuat untuk memperbaiki struktur ketimpangan. Sementara, insentif fiskal lebih banyak menyasar investor besar dibandingkan penguatan UMKM atau koperasi,” paparnya.
Baca Juga:
Reshuffle: Antara Stabilitas dan Kekecewaan Publik Terhadap Kinerja Menteri
Ia pun mengkritisi kinerja Kementerian Investasi/BKPM yang dipimpin Rosan Roeslani yang juga merangkap sebagai CEO Danatara, menurutnya, saat ini investasi masih diperlakukan sebagai tujuan, bukan instrumen transformasi ekonomi. Menurutnya selama ini, tidak ada mekanisme seleksi strategis terhadap sektor prioritas atau wilayah tertinggal.
“Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi simbol sentralisasi pembangunan baru yang justru memperkuat ketimpangan antarwilayah. Investasi domestik dan asing juga masih terkonsentrasi di Jawa,” ungkapnya.
Selai itu menurutnya, Kementerian Perindustrian tidak optimal, terlihat dari sektor manufaktur yang mengalami stagnasi, dengan pertumbuhan yang tertahan di bawah 3%. Hal ini menunjukan proses deindustrialisasi yang belum ditanggulangi. Sehingga sektor manufaktur tumbuh sangat lambat, ini mencerminkan lemahnya daya saing industri dan minimnya insentif untuk produksi dalam negeri.
“Tidak ada kebijakan industrialisasi yang sistematis, apalagi yang didesain untuk mengurangi ketergantungan pada impor barang modal dan bahan baku,” ujarnya.
Di Kementerian Perdagangan, Kusfiardi menjelaskan, komposisi ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas mentah, seperti CPO dan batu bara. Selain itu lebih dari 60 persen ekspor Indonesia masih berupa komoditas mentah, hal ini menandakan belum berhasilnya agenda hilirisasi.
Sementara, strategi diversifikasi ekspor belum menunjukkan hasil signifikan. Kondisi ini menunjukan tidak ada arah kebijakan yang menegaskan penguatan pasar domestik sebagai benteng kedaulatan ekonomi di tengah ketidakpastian global.
Baca Juga:
Pertemuan Gibran-Dasco Manuver Amankan Posisi di Tengah Isu Pemakzulan dan Reshuffle
Kusfiandi menilai Kementerian BUMN, dengan berbagai perusahaan plat merah lebih diarahkan sebagai entitas bisnis komersial yang mencari keuntungan jangka pendek, bukan sebagai instrumen kedaulatan ekonomi. Saat ini menurutnya, privatisasi terselubung terhadap aset-aset strategis justru semakin intensif. Sehingga peran BUMN sebagai penyangga ekonomi nasional dalam kondisi krisis atau dalam misi pembangunan jangka panjang makin terkikis.
“Banyak BUMN strategis mengalami tekanan komersialisasi atau divestasi, melemahkan kendali negara atas sektor-sektor penting seperti energi, pangan, dan logistik,” katanya.
Tak hanya mengkritik, Kusfiardi menyampaikan masukan atas kondisi tersebut, menurutnya bangsa ini membutuhkan reorientasi mendalam atas arah kebijakan ekonomi nasional. Pembangunan, katanya harus diletakkan kembali dalam kerangka kedaulatan dan keadilan sosial.
Setidaknya, ada lima langkah strategis yang perlu segera ditempuh antara lain melakukan reformasi pajak yang progresif, termasuk memperluas cakupan pajak atas korporasi besar, kekayaan, dan transaksi keuangan.
“Kedua, menerapkan selektivitas dalam penerimaan investasi asing, hanya masuk ke sektor produktif yang berorientasi jangka panjang dan memperluas basis produksi domestic,” katanya.
Ketiga, melakukan reindustrialisasi, dengan strategi perlindungan terhadap industri strategis dan pengembangan rantai pasok nasional.
“Keempat, meredistribusi belanja negara, memperbesar alokasi untuk pembangunan wilayah tertinggal dan sektor ekonomi rakyat,” ucapnya.
Dan, kelima mengembalikan fungsi strategis BUMN, agar berfungsi sebagai alat negara untuk mencapai tujuan kedaulatan ekonomi, bukan sekadar aktor pasar.
Kusfiardi menyampaikan, evaluasi kinerja menteri di bidang ekonomi tersebut tidak cukup hanya dari sisi pertumbuhan, tetapi dari seberapa besar mereka mampu mengembalikan peran negara sebagai pelindung, pengatur, dan penjamin keadilan ekonomi.
“Jika tidak ada koreksi arah kebijakan, maka pemerintahan ini berisiko meninggalkan warisan berupa pertumbuhan semu di atas fondasi yang rapuh dan timpang. Sudah saatnya arah pembangunan Indonesia disusun ulang dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945 sebagai kompas utama,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















