Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) mengibarkan Bendera Merah Putih saat upacara Pengibaran Bendera Merah Putih dalam rangkaian Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-73 di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (17/8). HUT ke-73 RI mengambil tema Kerja Kita Prestasi Bangsa. AKTUAL/Pool

Jakarta, Aktual.com – Pakar komunikasi dan budaya Fajar Junaidi menyampaikan seni, dan budaya populer bukan semata bentuk ekspresi diri untuk tujuan hiburan. Lebih jauh, seni dan budaya populer dapat berfungsi sebagai media yang serbaguna dan kuat untuk perlawanan.

“Kemampuannya untuk menyampaikan pesan-pesan kritis dan menyatukan komunitas menjadikannya alat yang abadi bagi mereka yang mencari perubahan dan menantang struktur hegemoni,” papar Fajarjun, sapaannya, kepada Aktual.com.

Hal ini menyikapi sejumlag polemik karya seni dan budaya popular yang mengkritik pemerintah, seperti mural dan pengibaran bendera One Piece jelang Hari Kemerdekaan RI ke-80, lagu ‘Bayar-bayar’ oleh band Sukatani, dan lukisan mirip mantan Presiden Jokowi karya Yos Suprapto.

“Kemampuannya untuk menyampaikan pesan-pesan kritis dan menyatukan komunitas menjadikannya alat yang abadi bagi mereka yang mencari perubahan dan menantang struktur hegemoni,” kata dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.

Fajarjun menyampaikan, seni dan budaya populer acap kali berperan sebagai pendorong aktivisme politik dan kesadaran budaya, terutama di kalangan mereka yang berada dalam situasi tidak setara secara politik, sosial, atau ekonomi.

“Musik pop, misalnya, seperti lagu bayar-bayar dari band Sukatani, terutama melalui liriknya, adalah alat komunikasi pengetahuan politik dari kelompok masyarakat yang termarjinalisasi,” papar Fajar.

Baca Juga:

One Piece Dan Kekhawatiran Penguasa Pada Hut-80 Kemerdekaan

Tidak hanya di Indonesia, menurutnya, secara historis musik populer erat kaitannya dengan budaya anak muda dan gerakan subkultur. Bahkan, katanya, beberapa riset menunjukan aktivitas terkait musik adalah bentuk perlawanan dan pemberontakan, yang sering dihubungkan dengan kaum muda dan persoalan sosial mereka.

“Musik Rap di Turki, misalnya, telah berkembang dari elemen budaya populer menjadi bentuk ekspresi politik yang signifikan, terutama terhadap partai politik yang berkuasa. Demikian pula, di Bangladesh, rap yang dipengaruhi oleh hip-hop politik Amerika telah menjadi alat kritik politik terhadap pemerintah,” ungkap Fajarjun.

Pun demikian dengan fenomena maraknya masyarakat melukis mural tokoh anime Luffy ‘one piece’, dan pengibaran bendera bajak laut ‘one piece’. Menurutnya, hal itu digunakan sebagai aktivisme sosial, simbol identitas kelompok, yang dalam konteks di Indonesia saat ini merupakan aktivisme sosial yang melakukan resistensi.

Merujuk pada sosiolog, Alberto Melucci, katanya, gerakan sosial memerlukan adanya simbol yang menyatukan orang. Bendera berfungsi sebagai penanda identitas yang memberi individu kesempatan untuk merasa menjadi bagian aktivisme digital.

Baca Juga:

Polemik Pengibaran Bendera di Era Gus Dur Hingga Prabowo

“Ini terlihat dengan warganet yang menggunakan bendera One Piece di status media sosial, profil media sosial, membagikan di media sosial, dan bahkan mendiskusikannya di media sosial. Setelahnya media massa menjadikannya berita, lengkap dengan komentar para pejabat yang acapkali justru malah kontraproduktif bagi pemerintah karena ketidak pahaman,” ucap Fajarjun.

Sangsaka Merah Putih dan One Piece Sebagai Kritik Masyarakat

Guru besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Iswandi Syahputra menyikapi polemik pengibaran bendera one piece yang bersanding dengan bendera Merah Putih menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-80.

Menurutnya, pengibaran bendera ‘One Piece’ yang bersanding dengan Sang Saka Merah Putih merupakan perjumpaan dua makna yang terkandung dalam rebel dan nasionalisme pada ruang pertemuan perayaan kemerdekaan.

Iswandi menjelaskan, melihat dari warna serta simbol yang dipilih dari bendera ‘One Piece’, mengandung makna rebel. Dalam kajian budaya popular, katanya, rebel tidak dapat dipahami sebagai pemberontakan. Apalagi dimaknai sebagai perlawanan bersenjata atau aksi massa anarkis.

“Rebel dalam budaya popular dapat dipahami sebagai bentuk perlawanan nilai kaum muda terhadap pemaknaan lama yang mapan melalui gerakan budaya kontemporer dengan menggunakan simbol-simbol pop,” paparnya.

Baca Juga:

Dinilai Gerakan Pecah Belah, Ternyata Gibran Pernah Pakai Pin One Piece Saat Debat Pilpres

Gerakan rebel ini, ucap Iswandi, merupakan gerakan ekspresi diri di ruang terbuka melalui artistik. Semacam deklarasi sosial untuk memberontak simbol budaya arus utama yang mendominasi berbagai ruang publik.

“Gerakan ini meluas melintasi benua, menyatukan berbagai hasrat untuk menolak pemaknaan tunggal yang dominan atas realitas. Seperti Punk, jeans, dan jeans robek, yang berupaya melawan kemapanan,” katanya

Karena itu, apa yang tersimpan sebagai pesan rebel dalam bendera ‘One Piece’ dalam budaya pop dapat dimaknai sebagai perjalanan kebudayaan. Perjalanan tersebut seperti pengembara muda yang mencari-cari makna baru atas realitas yang mengitarinya. Sebagai pengembara muda, mereka mencari-cari identitas baru di tengah identitas lama.

“Pengembaraan tersebut bertemu dengan pengembara lama dalam ruang perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Pertemuan keduanya membawa serta diskusi arah nasionalisme baru masa depan Indonesia,” ujar Iswandi.

Sehingga, alih-alih meletakkan fenomena pengibaran bendera ‘One Piece’ sebagai bentuk makar untuk menjatuhkan pemerintah, leboih produktif bila memahaminya sebagai menyingkap makna baru kemerdekaan Indonesia.

“Jangan melawan hal baru dengan perspektif lama. Lebih baik beradaptasi agar makna lama dapat bertahan dalam kemasan baru,” ucap Iswandi.

Baca juga:

Polemik Bendera One Piece di Bulan Kemerdekaan, Pemerintah dan DPR RI Serukan Persatuan Nasional

Menurutnya, Esensinya warna bendera Indonesia sejak dahulu sampai kapanpun tetap sama, Merah Putih, tidak akan pernah berubah. Namun, ‘One Piece’ sebagai budaya pop yang hadir saat ini bukan untuk menguji, menolak apalagi melawan sejarah nasionalisme Indonesia.

“Bendera One Piece adalah jembatan yang dibangun generasi kreator saat ini untuk mencapai wujud Indonesia masa depan. Sebuah imajinasi yang memuat ide Indonesia yang merdeka dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan merata bagi seluruh warga negara,” ucapnya.

Hal ini, paparnya, merupakan inisiatif yang muncul dari komunitas kreatif karena deras dan cepatnya arus informasi global. Sistem kerja otak mereka dipengaruhi oleh asupan informasi global kemudian diadaptasi menjadi ide tentang sebuah harapan.

“Fenomena bendera One Piece pada momentum perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI merupakan bentuk lain dari ekspresi nasionalisme yang hidup dan menginspirasi generasi kreator. Harapan mereka tidak bisa dibendung, karena salah satu kekuatan budaya popular adalah kecepatan dan jangkauan keluasannya,” ujar Iswandi.

Kritik lewat Seni dan Budaya di Era Prabowo

Pelarangan pengibaran bendera dan penghapusan mural Jolly Roger ‘One Piece’ oleh pemerintah, karena dianggap sebagai upaya provokasi memecah belah persatuan, melunturkan nasionalisme, bahkan bentuk makar, mengingatkan publik pada sikap represi pemerintah terhadap kritik yang disampaikan melalui seni dan budaya.

Sejak Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden RI ke-8 pada 20 Oktober 2024 lalu, peristiwa serupa kerap terjadi. Berikut kritik melalui seni dan budaya populer yang mendapat pelarangan, dan sikap represi dari Pemerintah yang sempat viral dan menjadi polemik.

1. Lima lukisan mirip Jokowi karya karya Yos Suprapto.
Pelukis Yos Suprapto akan memamerkan karyanya bertajuk “Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional Indonesia, pada 19 Desember 2024 sampai 19 Januari 2025.
Dari 30 lukisan yang akan dipamerkan oleh seniman asal Yogyakarta ini, lima di antaranya ada lukisan yang wajahnya mirip Jokowi. Lukisan itu menggambarkan sosok yang mirip Jokowi dengan berbagai peran, seperti; seorang pria bermuka mirip Jokowi memakai mahkota Jawa yang dijaga oleh banyak orang bersenjata. Pria ini sedang duduk di singgasana sambil menginjak orang di bawahnya.

Lukisan kedua, tergambar dua orang pria, yang satu telanjang dada dan seorang lagi terlihat pantatnya memakai mahkota raja. Berlatar belakang Ibu Kota Nusantara (IKN) dan mata satu, kedua sosok ini tengah menikmati hidangan dengan kondisi masyarakat yang saling bertengkar.
Selanjutnya lukisan yang menggambarkan sosok mirip Jokowi menggunakan topi caping tengah menyuapi orang berdasi berbadan gemuk. Ada juga lukisan yang memperlihatkan seorang petani berwajah mirip Jokowi menggunakan caping tengah memberi pakan sejumlah anjing.

Pameran tersebut dibatalkan pihak Galeri Nasional yang meminta kelima lukisan mirip Jokowi tersebut untuk tidak dipajang. Permintaan itu ditolak oleh Yos Suprapto tidak ada catatan apapun dari kurator terhadap lukisan tersebut.

Akhirnya, Galeri Nasional membatalkan pameran tersebut. Padahal diketahui, Galeri Nasional telah menjalin kerja sama dengan Yos sejak tahun 2000.

2. Lagu Bayar Bayar Bayar Band Sukatani.

Dua personel Band punk Sukatani asal Purbalingga, Jawa Tengah, mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri dan Polri di akun Instagram resmi mereka, @sukatani.band, Kamis (20/2/2025).

Permintaan maaf yang direkam kurang dari 2 menit in terkait lagu mereka berjudul ‘Bayar, Bayar, Bayar’. Lagu yang dirilis pada 24 Juli 2023 ini merupakan bagian dari album ‘Gelap Gempita’ yang berisi kritik tajam terhadap praktik korupsi serta pungutan liar (pungli) yang diduga dilakukan oleh oknum kepolisian.

Lirik yang salah satu frasanya berbunyi ‘Lapor barang hilang bayar polisi, Masuk ke penjara bayar polisi, Keluar penjara bayar polisi’ ini juga ditarik dari semua platform streaming musik dan media sosial mereka. Mereka juga meminta para penggemar untuk menghapus lagu tersebut dari platform masing-masing.

Akibat dari lirik lagu yang dinilai mengkritik institusi kepolisian itu pula vokalis band Sukatani Novi Citra Indriyati dipecat dari profesinya sebagai Guru SD IT Mutiara Hati Banjarnegara, Jawa Tengah.

3. Pementasan Lakon “Wawancara dengan Mulyono’ oleh Teater Payung Hitam.

Pergelaran pentas seni oleh teater Payung Hitam dilarang pentas oleh Kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Kota Bandung. Pertunjukan teater yang sedianya digelar di Studio Teater ISBI Bandung, Sabtu-Minggu (15-16/02/2025) malam itu gagal karena pintu studio digembok pihak kampus.

Bahkan, sebelumnya sarana promo baliho pertunjukan berukuran 3×4 meter yang dipasang Rabu, (2/12/25) pada Kamis pagi, (13/2/2025) dicopot dan ditahan oleh pihak kampus ISBI. Pentas tersebut semula akan dilaksanakan bersamaan dengan peluncuran buku Kumpulan sepuluh teks monolog yang salah satunya memuat naskah ‘Wawancara dengan Mulyono’, karya aktor teater senior Rachman Sabur.

Lakon ‘Wawancara dengan Mulyono’ melibatkan dua orang aktor. Seorang pemain berperan sebagai pewawancara, sementara aktor lain menjawab pertanyaan dengan bahasa tubuh tanpa ucapan. Pewawancara menanyakan ke Mulyono segala hal mengenai isu di sekitar Jokowi dari awal karir sebagai pengusaha toko mebel hingga terpilih menjadi presiden. Termasuk, isu-isu ketika Jokowi sebagai presiden selama dua periode.

Semua pertanyaan yang diajukan pewawancara tak sekalipun dijawan secara verban oleh tokoh yang memerankan sebagai Mulyono. Sosok itu hanya menjawab dengan gerak dan bahasa tubuh. Misalnya, saat pewawancara bertanya mengenai Parcok, IKN, Bansos, KPK, PSN, PIK 2, dan pagar laut, Mulyono hanya menjawabnya dengan membawa-bawa pot bunga uang ke sana ke mari.

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi