Jakarta, aktual.com – Sejarah Islam mencatat sebuah peristiwa agung yang dikenal dengan ‘Ām al-Fīl (Tahun Gajah), yaitu tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini bukan hanya menjadi catatan sejarah semata, melainkan juga pelajaran spiritual tentang perlindungan Allah terhadap Ka‘bah, rumah suci yang dimuliakan sejak Nabi Ibrahim ‘alaihissalām.
Abrahah bin al-Shabbah bin Yaksum, seorang penguasa dari Yaman yang beragama Nasrani, merasa iri melihat bangsa Arab setiap musim haji selalu berbondong-bondong menuju Mekkah. Untuk mengalihkan perhatian mereka, ia membangun sebuah gereja megah di Shan‘ā’ dan berambisi menjadikannya pusat peribadatan bangsa Arab.
Namun, niat itu mendapat perlawanan. Seorang tokoh Arab bernama Mālik bin Kinānah pada suatu malam masuk ke gereja tersebut, lalu menajiskannya dengan kotoran. Tindakan itu memicu amarah Abrahah. Dengan penuh kesombongan, ia bersumpah akan menghancurkan Ka‘bah dan berangkat menuju Mekkah dengan pasukan besar serta seekor gajah raksasa sebagai simbol kekuatan.
Pertemuan Abrahah dengan ‘Abdul Muththalib
Dalam perjalanannya, Abrahah merampas dua ratus ekor unta milik ‘Abdul Muththalib, kakek Nabi ﷺ sekaligus pemimpin Quraisy saat itu. Ketika Abrahah mengirim utusan, ia menyatakan:
“Aku tidak datang untuk berperang. Aku hanya ingin menghancurkan Ka‘bah, lalu kembali. Jadi jangan kalian khawatir.”
Jawaban ‘Abdul Muththalib penuh keyakinan tauhid:
“Ini adalah rumah Allah yang suci, rumah Nabi Ibrahim kekasih-Nya. Jika Allah melindunginya, maka itu adalah rumah dan tanah haram-Nya. Jika Allah membiarkan antara engkau dan rumah itu, maka kami tidak memiliki kekuatan untuk melawanmu.”
Ketika akhirnya ia bertemu langsung dengan Abrahah, ‘Abdul Muththalib hanya meminta agar unta-untanya dikembalikan. Hal ini membuat Abrahah heran, mengapa seorang pemuka Quraisy tidak membela Ka‘bah, tetapi justru memikirkan unta-untanya. Jawaban ‘Abdul Muththalib sangat menggetarkan hati:
“Aku adalah pemilik unta-unta ini. Sedangkan rumah itu ada Pemiliknya, dan Dia pasti akan melindunginya darimu.”
Keesokan harinya, Abrahah bersiap menyerang. Namun sebelum ia memasuki Mekkah, Allah ﷻ menurunkan pasukan burung (thayran abābīl) yang datang berbondong-bondong dari arah laut. Setiap burung membawa tiga batu kecil dari sijjīl (tanah liat yang dibakar), dua di kakinya dan satu di paruhnya.
Batu-batu itu dilemparkan kepada pasukan Abrahah. Setiap yang terkena, seketika binasa. Sebagian tentaranya lari tunggang-langgang tanpa arah, hingga tidak mengetahui jalan pulang. Allah menggambarkan kehancuran mereka dalam surah al-Fīl:
“Maka Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. al-Fīl: 5)
Peristiwa ini tidak hanya menjadi kisah sejarah, melainkan juga bukti kuasa Allah. Ka‘bah adalah simbol tauhid yang dilindungi langsung oleh-Nya. Manusia dengan segala kekuatan dan teknologinya tidak akan pernah mampu menandingi kehendak Allah.
Lebih jauh, para ulama tafsir menyebutkan bahwa peristiwa ini adalah mukadimah kenabian Rasulullah ﷺ. Allah hendak memperlihatkan tanda-tanda besar menjelang kelahiran utusan terakhir-Nya, sebagai rahmat bagi semesta alam.
Dengan demikian, kisah Abrahah dan tentara bergajah mengajarkan dua hal penting: pertama, keyakinan akan penjagaan Allah terhadap agama-Nya; kedua, kesombongan manusia yang menentang Allah pasti berujung pada kehancuran.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















