Gelombang kemarahan publik kembali membuncah setelah seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan (21), tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi di Jakarta, Kamis (28/8).
Tegedi ini menambah daftar panjang brutalitas kepolisian, dari tragedi Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 135 orang, hingga kasus penembakan, penyiksaan, dan represi terhadap masyarakat sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menegaskan bahwa kekerasan aparat bukan lagi insiden tunggal, melainkan pola berulang yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap negara.
“Brutalitas yang berulang telah menormalisasi kekerasan sebagai respons aksi sipil serta menjadi bentuk pembungkaman ruang demokrasi,” tegas pernyataan resmi RFP, Jumat (29/8).
Koalisi menuntut reformasi struktural menyeluruh. Mereka menekankan perlunya distribusi fungsi kepolisian ke kementerian sipil, seperti Sabhara dan fungsi pelayanan publik di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri serta fungsi lalu lintas termasuk registrasi kendaraan dan SIM ke Kementerian Perhubungan.
Selain itu, fungsi penyidikan pidana harus dikonsolidasikan di bawah sistem penegakan hukum yang independen dengan pengawasan ketat hakim, sehingga setiap tindakan paksa penyidik lebih transparan dan akuntabel.
RFP juga menuntut evaluasi menyeluruh terhadap Korps Brimob yang selama ini beroperasi layaknya institusi militer, bukan kepolisian sipil.
“Presiden harus segera lakukan perubahan struktural sekarang juga! Tegakkan supremasi sipil. Polisi harus dirombak, militer kembali ke barak,” tegas Koalisi.
Mereka juga meminta keterbukaan laporan tahunan Polri termasuk penggunaan anggaran publik. Pernyataan ini ditandatangani 19 organisasi sipil, antara lain YLBHI, ICW, AJI Indonesia, KontraS, ICJR, LBH Jakarta, WALHI, Greenpeace Indonesia, dan SAFEnet.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















