Oleh: Rizal Maulana Malik

Pemimpin Redaksi aktual.com  

Demontrasi sejumlah elemen mahasiswa dan buruh yang dimulai pada 25 Agustus 2025 berubah secara eskalatif, dan cepat. Demontrasi menjadi anarki dan berujung kerusuhan di Jakarta dan daerah.

Kerusuhan pada 28 hingga 30 Agustus 2025, terjadi lantaran para penunggang gelap berhasil “membajak” agenda demontrasi damai mahasiswa dan buruh menjadi gerakan emosi massa yang destruktif.

Agenda para mahasiswa dan buruh menuntut penghapusan tunjungan dan fasilitas DPR, pengesahan RUU Perampasan Aset, kenaikan pajak bumi dan bangunan, dan pengesahan RUU Ketenagakerjaan. Namun agenda itu hilang seketika, karena demo berubah menjadi anarki. Isu yang muncul adalah pembakaran.

Pemicu lain demontrasi menjadi kemarahan publik adalah meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang terlindas kendaraan rantis Brimob. Markas Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat langsung menjadi sasaran amuk massa.

Ribuan orang termasuk driver ojol yang “dikomando” melalui media sosial berdatangan dan meminta keadilan atas tewasnya Affan.

Kerusuhan semakin meluas. Sejumlah kendaraan polisi dibakar, gedung perkantoran di sekitarnya juga dijarah massa. Kantor Polres Jakarta Timur dan hampir seluruh kantor Polsek Jakarta Timur dibakar. Kantor Polres Jakarta Utara, dan bekas kantor Polres Jakarta Pusat juga jadi sasaran amuk massa.

Kerusuhan dengan cepat merembet ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Hampir seluruh gedung DPRD di kota tersebut dibakar massa.

Aksi anarki pun mengarah ke rumah pejabat negara. Rumah anggota DPR Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Nafa Urbach dirusak dan dijarah massa. Dan terakhir, rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di Tangerang juga tak luput dari aksi penjarahan.

Berbeda dengan kerusuhan pada 1998 yang berbau etnis dengan menjarah toko etnis tertentu dan mall, serta pemerkosaan, kerusuhan Agustus 2025 kali ini lebih mengarah kepada perusakan simbol-simbol kekuasaan di pusat dan daerah.

Kekerasan yang dibuat tidak diarahkan kepada konflik horisontal. Gerakan ini berjalan secara proradis dan menyasar properti pejabat politik yang dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyat.

Paradoks Media Sosial dan Emosi yang Mewabah

Manipulasi para penunggang gelap ini berhasil dilakukan melalui ruang demokrasi baru di era digital. Peran media sosial menjadi katalisator paling efektif membuat gerakan protes keras  meluas secara cepat.

Tayangan live maupun postingan di media sosial menjadi tontonan publik dan berhasil memprovokasi kelompok yang paling rentan. Para pelajar, pekerja paling bawah, pengangguran dan lainnya menjadi kelompok paling banyak terprovokasi.

Mereka datang tanpa agenda tuntutan yang jelas. Akhirnya menjarah, melempar baru ke aparat atau membakar gedung.

Mobilisasi massa tidak lagi dilakukan secara konvensional seperti pada 1998, tetapi cukup dengan membuat hastag tertentu di media sosial. Tanpa harus ada struktur organisasi aksi yang hirarkis.

Ruang digital seperti media sosial sebagai sebuah teknologi berbasis alogritma ini menunjukkan dua sisi yang paradoks. Satu sisi bisa menjadi kanal untuk mengkritik pemerintah dan memperkuat chek and balances.

Banyak kasus kebijakan pemerintah berubah dan dianulir, setelah kebijakan itu mendapat kritik keras dan luas di media sosial. No viral, no justice.

Namun di sisi lain, media sosial juga bisa dengan mudah digunakan para penunggang gelap demontrasi, menjadi alat provokasi, penyebaran hoaks, dan membelokkan narasi tuntutan subtantif mahasiswa dan buruh ke narasi lain.

Mengutip Jonah Berger dalam buku Contagious menyebutkan, bahwa sebuah informasi atau isu akan menjadi wabah atau viral dengan cepat, salah satunya karena isu itu memantik emosi publik.

Menurutnya, emosi yang dimiliki manusia itu dibagi dalam dua kategori. Pertama, emosi yang membuat seseorang menjadi pasif. Tidak bergerak. Emosi itu adalah kesedihan dan keharuan.

Kedua, adalah emosi yang membuat seseorang menjadi siaga atau bertindak. Emosi itu adalah kegembiraan dan kemarahan. Dua emosi inilah yang membuat siapapun akan membuat fisiknya bergerak. Melakukan sesuatu. Emosi inilah yang memicu kerusuhan saat ini.

Penyebab lain kerusuhan Agustus 2025 adalah akumulasi kekecewaan publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan elit DPR yang tidak berpihak kepada rakyat. Tekanan ekonomi dan beban hidup adalah akar dari persoalan.

Namun kegelisahan dan beban itu tampaknya tidak tersalurkan dengan baik melalui DPR. Seluruh kekuatan partai politik diakomodir oleh pemerintah. Partai yang kalah saat Pilpres 2024 pun masuk dalam kabinet.

Padahal seharusnya ada partai yang menjadi oposisi formal atau penyeimbang. PDIP yang tidak masuk pemerintah pun masih bersikap abu-abu dalam menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat. Kontalasi politik inilah yang membuat saluran aspirasi menjadi tersumbat.

Pilihan terakhir guna mengontrol dan menyuarakan aspirasi itu hanya ada di media sosial dan jalanan. Dua pilar inilah tampaknya saat ini yang bisa menjadi kekuatan untuk mendorong  perubahan yang lebih baik.

Namun dua pilar ini yang terus menerus menjadi penyeimbang pemerintah, dampaknya akan lebih besar terhadap stabilitas dan ekonomi. Jika tiap hari ribuan elemen berdemontrasi dan berisik di media sosial, akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan juga investasi.

Oposisi atau penyeimbang kekuasaan lewat partai tetaplah dibutuhkan, agar aspirasi rakyat bisa disalurkan denga baik. Karena itulah esensi sebuah demokrasi. ***