Jakarta, aktual.com – Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa reformasi kepolisian merupakan agenda yang paling mendesak saat ini. Peneliti ICJR, Iftitah Sari, menekankan bahwa meski Polri memperoleh anggaran lebih dari Rp100 triliun, institusi ini justru semakin kerap menunjukkan sikap brutal dan sewenang-wenang, bukan semakin akuntabel.
“Dalam Tuntutan Rakyat 17+8, Polri menjadi institusi yang paling mendesak untuk dibenahi. Dengan anggaran lebih dari Rp100 triliun, Polri justru semakin brutal dan sewenang-wenang, bukan semakin akuntabel,” kata Iftitah, Selasa (4/9).
Polri Sebagai “Superbody” yang Sulit Diawasi
Polri saat ini memiliki kewenangan sangat luas, mulai dari menjaga ketertiban, melayani masyarakat, hingga menegakkan hukum pidana. Konsentrasi kewenangan tersebut menjadikan Polri sebagai superbody yang rawan penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, secara filosofis, tugas utama kepolisian seharusnya berfokus pada pencegahan demi menjaga keamanan masyarakat sehari-hari.
Namun dalam praktiknya, fungsi Polri bercampur antara sipil dan militeristik serta kerap terhubung dengan kepentingan politik. Kondisi ini bukan hanya memicu tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain, melainkan juga membuka ruang penyalahgunaan wewenang, kekerasan berlebihan, hingga lemahnya akuntabilitas. Iftitah menekankan, kedudukan Polri di bawah Presiden semakin memperkuat risiko menjadikan kepolisian sebagai alat kekuasaan politik.
“Polri menjadi superbody tanpa pengawasan: memegang fungsi pelayanan, penegakan hukum, hingga pengendalian massa,” jelasnya.
Lemahnya Mekanisme Pengawasan
Persoalan serius lain adalah rapuhnya sistem pengawasan. Dalam teori, kewenangan besar Polri seharusnya diimbangi dengan pengawasan internal, eksternal, serta partisipasi publik. Namun, pengawasan internal lewat Propam sering kali lumpuh akibat relasi kepangkatan, bahkan dalam kasus Brigadir Yosua, pucuk pengawas internal justru ikut terlibat dalam kejahatan.
Sementara itu, pengawasan eksternal melalui Kompolnas hanya bersifat formalitas tanpa daya paksa. Akibatnya, muncul lingkaran impunitas yang membuat pelanggaran terus berulang tanpa konsekuensi tegas.
“Pengawasan lemah: Propam lumpuh karena relasi hierarkis dan kepangkatan, sementara Kompolnas hanya bersifat formalitas tanpa daya paksa,” ucap Iftitah.
Ia menilai, perlu dibentuk tim independen yang benar-benar otonom dari Polri maupun pemerintah, dengan kewenangan investigasi, akses penuh terhadap data, dan hak memberikan sanksi yang mengikat.
Bahaya Politisasi Polri
Selain itu, ICJR menekankan pentingnya depolitisasi Polri. Iftitah mencontohkan pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni yang mengaku dapat memerintahkan polisi menangkap demonstran, bahkan anak di bawah umur. Hal tersebut memperlihatkan betapa rawannya Polri terhadap intervensi politik.
Politisasi juga tercermin dalam pengangkatan pejabat kepolisian di daerah yang kerap sarat intervensi partai politik, serta kasus kriminalisasi aktivis HAM seperti Fatiya Maulidiyanti dan Haris Azhar.
“Politisasi: Polri rentan dijadikan alat kekuasaan untuk membungkam kritik,” tegas Iftitah.
Anggaran Raksasa yang Tidak Transparan
Polri mengantongi anggaran lebih dari Rp100 triliun pada APBN 2025. Namun, menurut laporan ICW, sebagian dana besar ini justru digunakan untuk pengadaan senjata, kendaraan taktis, dan gas air mata senilai Rp188 miliar, alih-alih peningkatan pelayanan publik dan profesionalisme aparat.
“Anggaran raksasa: triliunan rupiah terserap untuk senjata, gas air mata, dan proyek surveillance, bukan untuk pelayanan publik,” lanjutnya.
Usulan Reformasi ICJR:
- ICJR kemudian menyodorkan sejumlah langkah reformasi, antara lain:
- Memisahkan fungsi Polri: penegakan hukum, pelayanan publik, dan pengendalian massa agar tidak terpusat pada satu lembaga.
- Membentuk pengawasan independen dengan kewenangan penuh investigasi, akses data, dan hak memberi sanksi.
- Mendorong depolitisasi Polri agar netral sesuai konstitusi.
- Melakukan audit anggaran untuk memastikan dana rakyat dipakai bagi peningkatan profesionalisme, perlindungan HAM, serta pelayanan masyarakat.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















