KEKERASAN aparat dalam demonstrasi akhir Agustus 2025 menjadi momentum yang menyoroti krisis legitimasi Polri. Bukan hanya karena jatuhnya korban jiwa seperti Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, namun juga karena terkuaknya persoalan struktural, seperti lemahnya akuntabilitas, kendali yang terpusat tanpa pengawasan efektif, dan moral institusional yang terkikis.
Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan, bahwa Polri saat ini memiliki kewenangan sangat luas dan menjadikan Polri sebagai superbody yang rawan penyalahgunaan kekuasaan. Ditambah anggaran sebesar Rp100 triliun, lembaga ini dinilai semakin brutal, bukan akuntabel.
“Dalam Tuntutan Rakyat 17+8, Polri menjadi institusi yang paling mendesak untuk dibenahi. Dengan anggaran lebih dari Rp
100 triliun, Polri justru semakin brutal dan sewenang-wenang, bukan semakin akuntabel,” beber peneliti ICJR, Iftitah Sari, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/9/2025).
Tragedi Affan menjadi simbol paling menyayat. Aliansi Dosen menuntut penyelidikan serius, yaitu agar Polri melakukan pengusutan terhadap tewasnya pengemudi ojol Affan Kurniawan di tengah aksi, serta penegakan hukum terhadap pelaku.
“Polri dan lembaga penegak hukum lainnya dapat memberikan sanksi dan tindakan yang tegas,” kata anggota aliansi, Mohammad Novrizal.
Polri mencoba merespons. Divisi Propam menggelar sidang etik terhadap tujuh anggota Brimob, termasuk pemecatan Kompol Kosmas, namun hal itu tidak mengurangi kritik publik yang melihat kejadian ini sebagai masalah sistemik.
Kapolri Listyo Sigit Prabowo menegaskan kesiapan mundur jika diperlukan. “Terkait dengan isu yang menyangkut (pencopotan) Kapolri, itu merupakan hak prerogatif presiden. Kita prajurit, kapan saja siap.” Pernyataan ini memperlihatkan bahwa posisi Kapolri kian rapuh, bergantung pada keputusan Presiden Prabowo Subianto di tengah derasnya tekanan publik.
Di balik krisis ini, mencuat pula dinamika suksesi di tubuh Polri. Kerusuhan akhir Agustus membuat isu pencopotan Kapolri menjadi bahan spekulasi publik, tetapi sesungguhnya “isu suksesi’ sudah terasa sejak jauh hari.
Pada Januari 2025, Kapolri melakukan langkah mengejutkan dengan mengganti Komjen Martinus Hukom dari jabatan Kepala BNN. Seperti diketahui eks Kepala Datasemen Khusus 88/Antiteror ini adalah teman satu angkatan Listo Sigit Prabowo.
Pergantian ini dipandang banyak kalangan sebagai bagian dari rekayasa rotasi di tingkat strategis, yang bukan sekadar teknis, melainkan juga memetakan arah suksesi di internal Polri.
Keputusan tersebut memperlihatkan bagaimana jabatan di luar struktur utama Polri, seperti BNN, tetap digunakan sebagai arena konsolidasi dan pengaturan jalur karier jenderal bintang tiga.
Situasi kian memanas pada awal Agustus 2025 ketika terjadi mutasi besar-besaran perwira tinggi Polri. Puluhan jenderal berpindah posisi, sebagian menduduki jabatan strategis yang erat kaitannya dengan fungsi operasional keamanan.
Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, menegaskan bahwa mutasi jabatan merupakan proses alamiah dalam organisasi sebagai bentuk penyegaran, pengembangan karier, serta pemenuhan kebutuhan organisasi.
Namun, di balik penjelasan formal itu, adanya upaya konsolidasi untuk menata jalur suksesi. Dari 61 perwira yang dimutasi, sejumlah nama menonjol: Komjen Dedi Prasetyo ditetapkan sebagai Wakapolri, Komjen Syahardiantono mengisi kursi Kabareskrim, Komjen Akhmad Wiyagus ke Kabaintelkam, dan Irjen Karyoto ke Baharkam.
Penempatan terakhir inilah yang memunculkan isu ketidakpuasan. Karyoto bahkan harus memberikan klarifikasi, “Tidak ada sama sekali, hubungan saya sama Pak Kapolri itu sangat bagus. Beliau sangat sayang ke saya, dan saya sangat hormat ke beliau,” kata Karyoto.
Ia menegaskan bahwa kabar dirinya menolak jabatan Baharkam adalah hoaks. “Sangat hoax dan tidak benar isi ceritanya. Itu akun disebar untuk membuat seolah mempertentangkan saya dengan Pak Kapolri,” Karyoto menegaskan kembali.
Isu Karyoto menunjukkan bahwa dinamika suksesi Polri tidak steril dari intrik politik internal. Jabatan Baharkam dianggap ‘parkir’ bagi perwira senior yang gagal menembus jalur menuju kursi Kapolri.
Maka, ketika kerusuhan Agustus memunculkan desakan agar Kapolri dicopot, spekulasi mengenai siapa calon penggantinya semakin mengemuka. Nama-nama yang sudah ditempatkan di posisi strategis pasca-mutasi otomatis masuk dalam perhitungan.
Suksesi Polri, dengan demikian, tidak berdiri di ruang hampa, melainkan berjalan beriringan dengan krisis legitimasi akibat brutalitas aparat.
Polisi Hanya Jadi Alat Kekuasaan Bukan Pelindung
Dampak sosial dari krisis ini sangat nyata. Kepercayaan publik terhadap Polri merosot tajam. Bagi masyarakat sipil, kasus Affan memperkuat persepsi bahwa polisi lebih sering menjadi alat represi ketimbang pelindung.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengingatkan bahwa tindakan brutalitas Polri telah melanggar Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, implementasi prinsip dan standar HAM Perkap No. 8 Tahun 2009.
Dalam kerangka negara hukum, pelanggaran ini tidak bisa dianggap enteng. Ia menandai mundurnya komitmen demokrasi yang seharusnya dijaga pascareformasi 1998.
Di lapangan sosial, kekerasan aparat menimbulkan trauma kolektif. Warga semakin enggan turun ke jalan untuk menyampaikan pendapat karena khawatir berhadapan dengan aparat yang represif.
Rasa takut itu bisa menggerus salah satu fondasi utama demokrasi, yaitu kebebasan berkumpul dan berekspresi. Lebih jauh, setiap kali kekerasan aparat disiarkan dan viral di media sosial, jarak antara masyarakat dan polisi semakin melebar. Yang muncul bukan citra Polri Presisi sebagaimana jargon resmi, melainkan gambaran polisi yang berhadapan frontal dengan rakyatnya sendiri.
Kombinasi antara dinamika suksesi internal yang sarat intrik dan dampak sosial yang semakin buruk menempatkan Polri di persimpangan sejarah. Dari luar, tuntutan reformasi struktural menguat.
Dari dalam, perebutan jalur karier dan spekulasi suksesi semakin mempertebal ketidakpastian. Tanpa langkah reformasi serius, krisis kepercayaan ini tidak akan mereda, melainkan berpotensi memicu gelombang delegitimasi yang lebih luas.
“Polri menjadi institusi yang paling mendesak untuk dibenahi,” kata Iftitah
Reporter: Rizal Malik & Elroby Jawi Fahmi
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















