Ilustrasi-Gedung KPU
Ilustrasi-Gedung KPU

Jakarta, aktual.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan aturan baru yang akan berlaku pada Pemilu 2029: sebanyak 16 dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan tertutup untuk publik, kecuali ada izin dari calon atau melalui putusan pengadilan.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif SCL Taktika Konsultan, Iqbal Themi, menilai keputusan ini bukan sekadar urusan teknis administratif, melainkan menyentuh hal paling mendasar dalam demokrasi: keterbukaan informasi.

“Menutup dokumen capres-cawapres berarti mengunci akses rakyat terhadap rekam jejak calon. Ini langkah mundur yang bisa menyeret pemilu ke politik ruang gelap, di mana publik dipaksa memilih dengan mata tertutup. Secara tidak langsung, rakyat dipaksa berjudi menentukan masa depan bangsa,” tegasnya, Selasa (16/9)

Iqbal menilai aturan tersebur berbahaya karena menimbulkan tiga resiko utama.

Pertama, delegitimasi KPU sebagai penyelenggara independen. Jika informasi dasar saja ditutup, kepercayaan publik terhadap netralitas KPU akan runtuh.

“KPU justru terlihat melindungi elite, bukan publik. Dan ketika kepercayaan publik hilang, legitimasi pemilu ikut hancur,” ujarnya

Kedua, tergerusnya partisipasi politik rakyat. Pemilih berhak mengetahui rekam jejak, kepatuhan hukum, dan keaslian dokumen calon. Menutup akses ini sama artinya dengan merampas instrumen kontrol publik. Dampaknya, partisipasi rakyat tereduksi menjadi sekadar formalitas.

Ketiga, aturan ini bisa berdampak langsung pada persaingan elektoral. Menjelang Pemilu dan Pilkada, aturan ini berpotensi dijadikan alat manuver politik. Calon dari partai pendukung pemerintah bisa lebih terlindungi karena dokumen penting mereka tidak terbuka untuk diuji publik.

Sebaliknya, pihak oposisi kehilangan ruang untuk mengkritisi rekam jejak lawan karena akses informasinya tertutup. Di sisi lain, oposisi bisa membalikkan isu ini untuk menyerang kredibilitas KPU dan menuding penyelenggara pemilu tidak transparan.

Iqbal mengingatkan bahwa keputusan KPU ini juga bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang menuntut pemilu terbuka dan bisa diawasi rakyat.

“Reformasi membawa pesan bahwa demokrasi harus terbuka dan diawasi rakyat. Kalau KPU justru menutup pintu informasi, maka yang terjadi adalah kebiri demokrasi dan hilangnya kontrol publik atas calon pemimpin,” jelasnya.

Ia menutup dengan peringatan bahwa pemilu tanpa transparansi hanya akan melahirkan demokrasi semu.

“Kalau dokumen capres ditutup, publik kehilangan hak untuk mengawasi, elite semakin nyaman bersembunyi, dan demokrasi kehilangan substansinya. Itu sama saja membawa kita mundur ke masa sebelum reformasi,” pungkas Iqbal.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain