Jakarat, aktual.com – Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto prihatin masih sering terjadinya keracunana siswa sekolah yang mengkonsumsi makan Bergizi gratis (MBG). Dari laporan yang diterimnya dalam seminggu terakhir, kabar keracunan datang dari Baubau, Lamongan, Sumbawa, Gunungkidul hingga Garut.

Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menyampaikan keprihatinannya karena penerima manfaat MBG di beberapa wilayah mengalami gejala keracunan. Menurutnya, adanya berita ini harus menjadi evaluasi dan pembenahan.

“Pertama-tama saya menyampaikan keprihatinan atas kejadian ini. Fakta adanya penerima manfaat MBG yang menunjukkan gejala keracunan menunjukkan lemahnya kontrol mutu,” kata Edy, Minggu (21/9).

Politikus PDI Perjungan ini melihat, Fenomena keracunan para siswa sekolah usai mengkonsumsi MBG di sekolah menunjukan bahwa pengawasan belum berjalan dengan baik, karena Badan Gizi Nasional (BGN) fokus pada pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), bukan pada kualitas makanan yang dikonsumsi oleh para siswa disekolah.

Hal itu menegaskan bahwa akar masalah dari kasus-kasus keracunan massal ini tidak bisa dilepaskan dari peran BGN yang lebih fokus mengejar kuantitas dapur demi meningkatkan serapan anggaran. Perlu diketahui bahwa anggaran BGN sejumlah Rp 71 triliun baru terserap 18,6 persen. Untuk meningkatkan serapan, Edy menduga BGN terus berupaya meningkatkan jumlah SPPG.

“Yang dikejar sekarang itu jumlah dapur, bukan kualitas. Kuantitas dapur jadi target, sementara standar mutu dan keamanannya diabaikan. Akibatnya, dapur-dapur itu ada yang dibangun asal jadi ada yang belum memenuhi standar,” ungkapnya.

Edy pun mengungkapkan,  sebagian besar pembangunan dapur MBG diserahkan ke yayasan masyarakat. Yayasan ini tidak memiliki cukup modal untuk membangun SPPG.  Dengan keterbatasan tersebut, dapur dibangun belum sesuai ketentuan agar mengurangi potensi cemaran. Selain itu menurutnya SPPG harusnya ada akreditasi atau verifikasi dari lembaga di luar BGN untuk memastikan kelayakan dan standar mutu.

“Jangan mudah mengizinkan SPPG yang belum sesuai standar untuk beroperasi agar penerima manfaat tidak dirugikan,” tegasnya.

Selain BGN, ia pun memberikan kritik tajam kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan daerah yang belum menjalankan fungsi pengawasan dengan optimal. menurutnya seharusnya BPOM dan Dinkes melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.

“BPOM sudah diberikan tambahan anggaran sampai Rp 700 miliar untuk pengawasan SPPG,” ucapnya.

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi