Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa diminta tidak hanya mengejar 200 penunggak pajak besar yang memiliki nilai tunggakan total mencapai Rp60 triliun, tapi juga memburu pajak para pengusaha curang.

“Pengusaha pengemplang pajak dan pengusaha curang yang manipulasi perdagangan harus ditindak tegas tanpa pandang bulu. Menkeu harus konsisten terhadap seluruh pelanggaran perpajakan dan kecurangan perdagangan,” demikian disampaikan peneliti NEXT Indonesia Center, Sandy Pramuji, dalam keterangan persnya, kepada Aktual.com, Sabtu (27/9/2025).

Dengan begitu, katanya, Indonesia dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, sekaligus memperkuat keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan dan perdagangan juga dapat terjaga.

“Apalagi, potensi kebocoran penerimaan negara yang tak kalah besar juga terjadi melalui praktik curang dalam pencatatan ekspor-impor (trade misinvoicing),” ungkapnya.

Trade misinvoicing merupakan perbedaan catatan nilai komoditas antara negara yang mengekspor dengan negara yang mengimpor komoditas tersebut. Ada dua jenis misinvoicing, yaitu under-invoicing (volume atau nilai ekspor yang dicatat di Indonesia lebih rendah dibandingkan catatan negara mitra dagang) dan over-invoicing (catatan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan catatan negara mitra).

Sandy Pramuji mengungkapkan, kedua bentuk kecurangan ekspor dan impor ini jelas merugikan keuangan negara dan merusak integritas sistem perdagangan. Catatan NEXT Indonesia selama periode 2014-2023 ditemukan nilai potensi misinvoicing sebesar US$1.374,5 miliar, atau sekitar Rp21.992 triliun jika kurs 1 dolar AS senilai Rp16.000.

“Nilai misinvoicing ekspor Indonesia ke negara mitra mencapai US$654,5 miliar selama satu dekade tersebut. Sementara nilai potensi misinvoicing impor dari negara mitra lebih besar lagi, mencapai US$720 miliar,” paparnya.

Sandy mengungkapkan, setiap tahunnya ada dana gelap sekitar Rp2.200 triliun yang lolos dari bea cukai dan pajak, atau menyelinap pergi ke luar negeri. Sebagian besar merupakan indikasi keuntungan perusahaan yang tidak dilaporkan atau penghindaran kewajiban fiskal yang seharusnya masuk ke kas negara,” ujar Sandy.

Dia menjelaskan, selisih data ekspor-impor yang timbul akibat under-invoicing maupun over-invoicing merupakan potensi pendapatan negara yang hilang. Hal ini terjadi karena adanya upaya menghindari pajak dan cukai, mencuci uang hasil kejahatan, hingga menyembunyikan keuntungan di luar negeri.

“Pemerintah harus serius menggali potensi pendapatan yang hilang ini sehingga tidak perlu selalu menaikkan tarif pajak di dalam negeri. Apalagi, manipulasi pencatatan ekspor tersebut merupakan tindakan kejahatan keuangan,” tegasnya

Sandy mengingatkan, pemberantasan praktik illicit financial flow melalui trade misinvoicing bisa mendatangkan penambahan penerimaan negara yang sangat signifikan, bahkan melampaui angka Rp60 triliun yang sedang dikejar dari 200 entitas pengemplang pajak.

“Jika sebagian dari dana gelap itu saja terungkap dan dikenakan pajak sesuai aturan, tambahan pemasukan bagi APBN akan sangat besar,” paparnya.

Menurutnya, upaya menutup celah trade misinvoicing ini berdampak jangka panjang, yaitu meningkatkan kemandirian fiskal, mencegah capital flight, serta memastikan kekayaan dari ekspor sumber daya Indonesia benar-benar kembali ke Tanah Air untuk kemakmuran rakyat.

“Pemerintah harus menindak tegas segala bentuk penghindaran kewajiban fiskal, baik yang terjadi di dalam negeri maupun melalui celah perdagangan lintas negara. Dukungan terhadap penegakan hukum pajak harus dibarengi dengan keseriusan memberantas praktik trade misinvoicing di sektor ekspor-impor,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi