Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali terguncang oleh prahara internal. Muktamar X yang semestinya menjadi forum konsolidasi justru menyisakan luka perpecahan. Klaim ganda atas kursi ketua umum, antara Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto, memperlihatkan wajah lama PPP: partai yang tak kunjung lepas dari konflik kepemimpinan.
Bagi publik, drama ini bukan lagi tontonan baru. Sejak era Hamzah Haz hingga Romahurmuziy, PPP berkali-kali terjebak dalam pertikaian elite. Ironis, partai yang lahir dari fusi politik Islam ini justru kesulitan menghadirkan teladan musyawarah yang menjadi nilai dasar perjuangannya.
Kementerian Hukum dan HAM mungkin sudah memberi legitimasi formal pada kubu Mardiono. Namun legitimasi politik sejatinya tidak lahir dari segel pemerintah, melainkan dari kepercayaan kader dan simpatisan. Di titik inilah PPP menghadapi ancaman paling serius, yaitu kepercayaan dari basis pemilihnya.
Sebagian DPC di daerah sampai harus meminta maaf kepada konstituen. Itu sinyal kuat bahwa akar rumput merasa dikhianati oleh elit yang sibuk berebut kursi, alih-alih menunaikan amanah perjuangan umat.
PPP harus ingat, di tengah penurunan suara pada Pemilu 2024, kisruh semacam ini hanya akan mempercepat proses marginalisasi mereka dalam peta politik nasional.
Usulan muktamar ulang bisa menjadi jalan keluar, tetapi hanya jika dilandasi tekad tulus untuk islah. Tanpa itu, forum serupa hanya akan menjadi panggung rebutan baru. PPP tidak kekurangan tokoh, tapi krisis kepemimpinan lah yang membuat partai ini kian terpuruk.
Pertanyaan yang mencuat, maukah elite PPP belajar dari sejarah panjang konflik internalnya?
Ataukah mereka rela menjadikan partai berlambang Ka’bah ini sekadar catatan kaki dalam politik Indonesia?
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















