Jakarta, aktual.com – Dalam kehidupan manusia, tidak sedikit orang tua yang berusaha keras menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anaknya, berharap agar kelak mereka menjadi pribadi yang saleh dan terjaga dari keburukan. Namun, ada sisi lain yang sering luput dari perhatian: ternyata kesalehan orang tua itu sendiri dapat menjadi sebab turunnya keberkahan dan penjagaan Allah kepada anak-cucu mereka, bahkan hingga generasi yang jauh.
Hal ini ditegaskan dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh al-Fawāid al-Mukhtārah. Diceritakan bahwa Sa‘īd bin al-Musayyib, seorang tabi‘in besar yang dikenal karena kesalehan dan keilmuannya, pernah berkata kepada putranya:
“Sungguh aku akan menambah salatku demi kamu, dengan harapan aku akan dijaga untuk kebaikanmu (kelak).”
Setelah mengucapkan hal itu, beliau membaca firman Allah dalam surat al-Kahfi ayat 82:
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Sedang ayah keduanya adalah seorang yang saleh.”
Ayat ini merupakan bagian dari kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa ‘alaihimas-salām, ketika keduanya menemukan sebuah dinding milik dua anak yatim di kota yang mereka singgahi. Nabi Khidr memperbaiki dinding itu tanpa meminta upah, dan menjelaskan bahwa di bawah dinding itu tersimpan harta milik dua anak yatim tersebut. Allah menjaga harta itu hingga keduanya dewasa — bukan karena amal keduanya, tetapi karena kesalehan ayah mereka.
Sa‘īd bin al-Musayyib memahami dari ayat ini bahwa kesalehan orang tua bisa menjadi sebab Allah menjaga anak-anaknya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Ia mengatakan bahwa penjagaan itu mencakup keselamatan diri dan harta anak keturunan seseorang.
Lebih jauh lagi, tafsir mendalam tentang ayat tersebut dikemukakan dalam Tuhfatul-Asyrāf. Dalam kitab itu disebutkan:
“Yang dimaksud dengan ayah di dalam ayat itu, ada yang berpendapat adalah kakek ketujuh dari ibu. Jika Allah menjaga harta seorang anak sebab kesalehan sang kakek, maka kami mengharap mudah-mudahan Allah menjaga agama kami. Aku mengambil kabar gembira dari ayat ini dan berharap digolongkan bersama Rasulullah dan para salaf yang mulia.”
Penulis Tuhfatul-Asyrāf kemudian melanjutkan perenungannya dengan pernyataan yang penuh makna spiritual:
“Jika Allah menjaga harta karena kesalehan sang ayah, padahal ia bukan termasuk umat Nabi Muhammad ﷺ, maka bagaimana mungkin Allah tidak menjaga seseorang dari umat Nabi Muhammad yang saleh? Jika Allah menjaga harta, tentu Dia lebih menjaga agama — karena agama adalah hal yang paling berharga bagi kaum ‘arifin. Dan jika Allah menjaga seseorang karena kesalehan umat secara umum, maka bagaimana mungkin Dia tidak menjaga keturunan Rasulullah ﷺ yang mulia demi kemuliaan beliau, sebaik-baik orang yang mengesakan Allah dan pemimpin seluruh makhluk?”
Renungan ini mengandung makna mendalam tentang hubungan antara kesalehan individu dan keberkahan keturunan. Kesalehan seorang hamba tidak hanya mendatangkan pahala bagi dirinya, tetapi juga bisa menjadi sebab penjagaan dan rahmat bagi anak cucunya.
Berkah kesalehan ini seakan menegaskan hukum spiritual yang hidup dalam sunnatullah: bahwa amal saleh seseorang tidak pernah terputus manfaatnya. Sebagaimana air jernih yang mengalir ke sungai, begitu pula doa, amal, dan ketulusan seorang ayah atau ibu dapat menjadi aliran berkah yang menyejukkan hati anak-anaknya.
Sa‘īd bin al-Musayyib memberi teladan bahwa tanggung jawab orang tua tidak berhenti pada memenuhi kebutuhan jasmani anak, tetapi juga mencakup ikhtiar spiritual melalui ibadah dan doa. Dalam hal ini, tambahan salat yang beliau lakukan bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, tetapi sebagai bentuk harapan agar Allah menjaga anaknya di masa depan.
Maka, bagi setiap orang tua, kisah ini menjadi pengingat yang indah bahwa kesalehan yang kita perjuangkan hari ini bukan hanya investasi pribadi, tetapi juga warisan tak ternilai bagi anak-cucu kita. Dan bagi anak-anak, kisah ini menumbuhkan kesadaran bahwa sebagian keberkahan yang mereka nikmati mungkin merupakan buah dari kebaikan dan ketulusan orang tua atau leluhur mereka.
Kesalehan, dengan demikian, bukan hanya identitas spiritual pribadi, melainkan cahaya yang memancar dari satu generasi ke generasi berikutnya — cahaya yang menerangi jalan hidup dan mengundang penjagaan Ilahi yang melampaui waktu.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















