Jakarta, aktual.com – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menyoroti ketimpangan upah minimum antarwilayah di Indonesia yang kian melebar. Dalam penjelasannya, ia menyebut bahwa saat ini upah minimum di wilayah perkotaan seperti Jakarta, Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, dan Kota Tangerang telah menembus angka lebih dari Rp5 juta per bulan, sedangkan di wilayah timur dan selatan Jawa Barat seperti Majalengka, Cirebon, Indramayu, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, dan Pangandaran masih berkisar Rp2 jutaan. Kondisi serupa juga terjadi di luar Semarang Raya, Jawa Tengah, dan Yogyakarta yang upah minimumnya tetap di kisaran angka tersebut.
Ia mencontohkan, jika kenaikan upah minimum diberlakukan secara merata, kesenjangan antarwilayah justru akan semakin besar.
“Tahun berikutnya jika persentase kenaikan Upah Minimum dipukul rata maka besaran Upah Minimum Karawang akan semakin jauh lebih tinggi dari Upah Minimum Yogyakarta. Simulasinya, semisal Upah Minimum naik 10%, maka Upah Karawang akan naik sebesar 10% x 5,5jt an = 550 ribuan, sementara Yogyakarta 10% x 2,1 jt = 210 ribuan, sehingga Upah Minimum Karawang menjadi 5,5 jt + 550 rb = 6,05 jt, sementara Yogyakarta 2,1 jt + 210 rb = 2,320 jt,” jelasnya.
Ristadi menilai kebijakan kenaikan upah dengan persentase yang sama di seluruh Indonesia tidak mencerminkan keadilan bagi pekerja.
“Tidak adil untuk pekerja/buruh yang mempunyai kompetensi/jenis pekerjaan dan jam kerja yang sama namun bekerja di daerah Kabupaten/Kota yang berbeda. Kalau alasannya karena tingkat kebutuhan hidup layak berbeda, mari kita cek bersama, benarkah kebutuhan hidup layak di Bogor dia setengah kali lipat daripada di Yogyakarta. Harga BBM, harga minyak goreng, harga beras kan tidak jauh beda bahkan cenderung sama, harga sewa kontrakan selisihnya juga paling ratusan ribu tidak sampai jutaan. Atau misal argumentasinya karena kultur usaha di Yogyakarta adalah UMKM dan Agribisnis, mari kita lihat apakah di Bogor tidak ada pertanian? Tidak ada UMKM? jawabannya, pasti ada,” kata Ristadi, Jumat (17/10).
Ia menambahkan bahwa kebijakan tersebut secara tidak langsung telah menciptakan ketimpangan sosial ekonomi antar daerah.
“Sadar atau tidak sadar secara sistematis telah ‘merendahkan’ secara sosial ekonomi baik untuk daerah yang Upah Minumumnya rendah ataupun pekerja/buruhnya yang bekerja di daerah tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai rendahnya upah berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah.
“Pekerja/buruh dengan upah yang rendah tentu daya belinya juga rendah, hal ini akan sulit untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh itu sendiri dan tidak bisa berkontribusi besar mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut, akibatnya daerah tersebut juga akan tertinggal secara ekonomi,” katanya.
Ristadi dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan kenaikan upah minimum yang disamakan secara nasional.
“Tidak setuju persentase kenaikan Upah Minimum disamakan/dipukul rata se Indonesia,” tegasnya.
Ia pun menyerukan agar pemerintah pusat tidak menetapkan satu angka persentase kenaikan untuk seluruh wilayah.
“Meminta agar Pemerintah pusat untuk tidak memutuskan persentase kenaikan Upah Minimum satu angka yang berlaku untuk seluruh Indonesia,” ucapnya.
Sebagai solusi, Ristadi mengusulkan perubahan sistem upah minimum menuju Upah Minimum Sektoral Nasional (UMSN), yaitu pendekatan berbasis jenis dan skala usaha yang berlaku secara nasional.
“Mengusulkan agar aturan Upah Minimum diubah menjadi formulasi Upah Minimum Sektoral Nasional (UMSN) yaitu Upah Minimum yang pendekatannya berdasarkan jenis dan skala usaha yang berlaku secara Nasional. Namun sebelum Upah Minimum Sektoral berlaku sama secara Nasional ini diberlakukan, ada masa transisi yang harus diciptakan yaitu kondisi perbedaan Upah Minimum antar daerah yang harus semakin kecil, syukur-syukur bisa sama. Caranya adalah dengan menaikkan Upah Minimum yang masih rendah secara signifikan daripada Upah Minimum yang sudah tinggi,” ucapnya.
Ia juga menekankan perlunya menghapus sistem upah minimum per provinsi maupun kabupaten/kota setelah kebijakan UMSN diterapkan.
“Setelah Upah Minimum Sektoral Nasional berlaku, maka Upah Minimum Provinsi/sektoral Provinsi, Upah Minimum Kabupaten Kota/sektoral Kabupaten Kota ditiadakan,” katanya.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi dan kemampuan pekerja, Ristadi menegaskan pentingnya penerapan struktur skala upah di setiap perusahaan.
“Sebagai apresiasi jenis pekerjaan, skill pekerja, masa kerja, tingkat pendidikan, jabatan, dll. maka struktur skala Upah tetap wajib diberlakukan di tiap perusahaan,” ungkapnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















