Oleh: Erdy Nasrul, Pemerhati Pesantren
Jakarta, aktual.com – Siapapun yang masuk ke kompleks pesantren, pasti akan mendengar derap langkah santri membawa buku menuju masjid. Di tempat sujud itu mereka mengulang hafalan Alquran, mendaras fikih, akhlak, tauhid, mawaris, Bahasa Arab, dan berbagai ilmu Islam.
Kompleks pesantren biasanya memiliki bangunan bertingkat, tapi tidak setinggi gedung-gedung pencakar langit di jantung kota. Ketika malam tiba, lampu-lampu di kompleks pesantren memancarkan cahaya, menyalakan semangat kearifan hidup. Begitulah wajah pesantren. Sederhana, tapi memancarkan makna yang dalam.
Martin van Bruinessen, antropolog asal Belanda, pernah menulis bahwa pesantren adalah “benteng Islam yang tumbuh dari tanah sendiri.” Dalam pandangannya, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi ekosistem sosial yang melahirkan pembelajar yang hidup dalam ilmu.
Ia kagum pada daya lentur pesantren yang mampu menyerap arus modernitas tanpa kehilangan akar spiritualnya. Bagi Bruinessen, pesantren itu seperti pohon tua yang akarnya menghujam di tanah tradisi, sementara rantingnya menjangkau langit perubahan. Lembaga pendidikan tertua di Nusantara ini melakukan kerja peradaban, yaitu mengambil dan mengembangkan kearifan yang meningkatkan marwah kehidupan sambil menetralisir budaya toxic.
Pesantren, kata Bruinessen, punya daya hidup yang luar biasa karena jantungnya bukan uang atau sistem, melainkan barakah. Sebuah konsep yang mungkin tak tercatat dalam teori ekonomi, tapi nyata dalam kehidupan santri.
Barakah adalah energi sunyi yang membuat pesantren tetap berdiri meski anggaran minim, tetap ramai meski tak punya promosi, dan tetap relevan meski dunia berubah. Ia seperti minyak zaitun dalam lampu: kecil, tapi membuat nyala tak padam.
Bruinessen menulis bahwa pesantren adalah “titik temu antara tradisi dan modernitas.” Ia bukan masa lalu yang membatu, tapi masa kini yang berakar. Di pesantren, anak-anak desa menemukan harga diri melalui ilmu, dan masyarakat menemukan arah melalui doa. Setiap kali seorang santri khatam kitab, seolah sejarah menulis bab baru tentang ketahanan spiritual bangsa ini.
Karel Adriaan Steenbrink, sarjana Belanda lain yang meneliti Islam Indonesia, menyebut pesantren sebagai “cermin kehidupan Islam yang paling otentik di Nusantara.” Ia melihat para santri sebagai penjaga nilai yang tak terjamah waktu. Dalam buku Pesantren, Madrasah, Sekolah, Steenbrink mencatat bahwa sistem pendidikan pesantren adalah bentuk kemandirian paling nyata umat Islam Indonesia, lahir dari masyarakat, tumbuh bersama masyarakat, dan mengabdi untuk masyarakat.
Steenbrink menambahkan, kekhasan pesantren bukan hanya pada cara ia mengajar, tetapi pada cara ia mendidik hati. Pendidikan di pesantren adalah perpaduan antara ilmu, adab, dan doa. Santri belajar berbicara sopan sebelum memahami makna kitab, belajar bersabar sebelum menafsirkan ayat. Dalam dunia yang serba cepat, pesantren justru mengajarkan pelan-pelan, karena mereka tahu, ilmu yang tumbuh tergesa akan gugur sebelum berbuah.
Bila sekolah modern ibarat gedung berlantai marmer, pesantren adalah mata air di kaki gunung: tenang, jernih, dan mengalir ke sawah-sawah kehidupan. Dari pesantren, muncul ribuan tokoh: ulama, guru, aktivis sosial, bahkan birokrat yang membawa aroma moralitas dalam kebijakan. Di balik itu semua, pesantren tak pernah kehilangan keheningannya, keheningan yang melahirkan kesadaran, bahwa belajar bukan untuk menang, melainkan untuk mengenal diri. Ya, mengenal diri agar mengenal hakikat Tuhan yang patut disembah, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.
Setiap subuh, sebelum matahari terbit, santri bangun dengan langkah ringan menuju tempat sujud. Suara mereka menembus kabut pagi, seolah mengingatkan dunia bahwa di balik gemuruh zaman digital, masih ada manusia-manusia yang menjaga cahaya ilmu dengan munajat dan mendaras sambil membolak balik lembaran kertas. Mereka tak mengejar gelar, tak memikirkan algoritma, hanya menghafal dan menulis, meyakini bahwa satu huruf dari guru bisa mengubah jalan hidup.
Kini, ketika dunia digempur oleh kecerdasan buatan dan disrupsi digital, pesantren tetap berdiri dengan caranya sendiri. Di saat sekolah-sekolah berlomba memperbarui kurikulum dan laboratorium, pesantren memperbarui hati. Ia tahu, masa depan bukan hanya milik yang canggih, tapi juga yang jernih. Dan kejernihan itu tumbuh dari jiwa yang ditempa di bawah sorot lampu langgar dan doa para guru.
Pesantren adalah lilin yang tak pernah padam di tengah angin zaman. Kadang nyalanya redup, tapi tak pernah mati. Ia menerangi tanpa menuntut balasan, membakar dirinya demi banyak orang lain bisa berjalan.
Seperti yang pernah ditulis Steenbrink dalam catatan lapangannya: “Pesantren adalah keajaiban kecil Indonesia, tempat di mana tradisi dan harapan saling berpelukan.” selama masih ada suara santri di malam hari, jalan bangsa ini menuju kemajuan akan selalu disinari cahaya ilahi.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















