Jakarta, aktual.com – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya menjatuhkan sanksi teguran keras kepada Ketua, empat anggota, serta Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, setelah terbukti menyalahgunakan penggunaan private jet senilai Rp90 miliar dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Keputusan DKPP ini sontak memantik tanda tanya publik: bagaimana mungkin lembaga yang seharusnya menjunjung asas integritas, efisiensi, dan akuntabilitas, justru terperangkap dalam praktik yang mencoreng etika penyelenggara pemilu?
Dalam sidang etik, anggota majelis DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, membeberkan fakta mencengangkan. KPU diketahui menyewa pesawat jet pribadi jenis Embraer Legacy 650 dalam dua tahap: tahap pertama senilai Rp65,4 miliar, dan tahap kedua Rp46,1 miliar, dengan selisih anggaran yang tidak kecil—mencapai Rp19,2 miliar.
Ironisnya, pesawat mewah tersebut seharusnya digunakan untuk memantau distribusi logistik ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Namun hasil pemeriksaan menunjukkan, dari 59 kali penerbangan, tak satu pun diarahkan ke wilayah 3T. Sebaliknya, penerbangan justru digunakan untuk kegiatan internal seperti bimbingan teknis, penyerahan santunan, hingga perjalanan ke Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan.
“Dari total 59 kali perjalanan, tidak satu pun digunakan untuk kegiatan distribusi logistik. Private jet justru dipakai untuk keperluan lain,” ungkap Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo, yang menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar asas efisiensi sebagaimana diatur dalam kode etik penyelenggara pemilu.
DKPP menilai tindakan para komisioner tidak dapat dibenarkan secara etika, apalagi mengingat pilihan pesawat yang “eksklusif dan mewah”. Teguran keras pun dijatuhkan kepada Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin, empat anggota KPU (Idham Holik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, August Mellaz) serta Sekjen Bernard Dermawan Sutrisno.
Sanksi “teguran keras” yang dijatuhkan DKPP memang terdengar tegas secara redaksional, namun lemah secara substantif. Dengan anggaran publik sebesar Rp90 miliar, pelanggaran ini tidak sekadar persoalan administrasi—melainkan indikasi krisis moralitas dan akuntabilitas di tubuh lembaga penyelenggara pemilu.
Bagi publik, kasus ini menimbulkan ironi mendalam: di saat banyak petugas KPPS gugur dalam tugas karena kelelahan dan keterbatasan fasilitas, para elit penyelenggara justru “terbang nyaman” dengan jet pribadi atas biaya negara.
Dalam konteks etika penyelenggaraan pemilu, pelanggaran ini bukan sekadar “kesalahan teknis”, melainkan bentuk penyimpangan nilai dasar: efisiensi, kesederhanaan, dan integritas. Teguran keras tanpa konsekuensi struktural dapat menimbulkan preseden buruk—bahwa pelanggaran bernilai miliaran rupiah bisa diselesaikan dengan “peringatan moral”.
Publik tentu menanti langkah lanjutan dari lembaga pengawasan keuangan dan penegak hukum. Sebab, jika sanksi etik berhenti di teguran, maka kepercayaan rakyat terhadap independensi dan kredibilitas penyelenggara pemilu bisa benar-benar jatuh.

















