Pertemuan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI). Aktual/Instagram @bahlillahadalia

Jakarta, aktual.com – Polemik akademik yang melibatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kembali memicu gelombang protes. Kali ini, suara penolakan datang dari Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (ILUNI FKUI) yang secara resmi melayangkan surat keberatan bernomor 030/ILUNI/FKUI/X/2025 kepada Ketua Umum ILUNI UI, Pramudya Oktavinanda.

Surat yang ditandatangani dan dikirimkan pada 22 Oktober 2025 itu menegaskan bahwa ILUNI FKUI menolak keras pertemuan dan silaturahmi antara pengurus ILUNI UI dengan Menteri Bahlil Lahadalia yang sebelumnya dipublikasikan melalui akun resmi ILUNI UI.

“Pertemuan itu dilakukan saat status akademik Bapak Bahlil masih dalam penangguhan dan disertasinya dinyatakan bermasalah. Hal tersebut mencederai upaya penegakan integritas akademik UI,” tulis pengurus ILUNI FKUI dalam surat terbuka tersebut.

Sumber keberatan ini berakar pada kasus kelulusan program doktor (S3) Bahlil Lahadalia di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, yang menuai sorotan publik sejak akhir 2024.

Bahlil dinyatakan lulus dengan predikat cum laude pada 16 Oktober 2024 setelah menempuh studi hanya dalam waktu 1 tahun 8 bulan—sesuatu yang dianggap tidak wajar untuk jenjang doktoral.

Namun, Majelis Wali Amanat (MWA) UI kemudian menangguhkan kelulusan tersebut dan memerintahkan sidang etik, disusul pembentukan Tim Investigasi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang melibatkan unsur Senat Akademik dan Dewan Guru Besar (DGB).

Hasil audit yang diumumkan pada 10 Januari 2025 menyebutkan adanya pelanggaran serius dalam disertasi Bahlil, diantaranya ketidakjujuran dalam pengambilan data, penggunaan data tanpa izin narasumber, konflik kepentingan antara promotor dan mahasiswa, serta masa studi yang terlalu singkat.

DGB UI secara tegas merekomendasikan pembatalan disertasi, namun Rektor UI Prof. Heri Hermansyah hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa “pembinaan” dan revisi disertasi, bukan pembatalan.
Keputusan ini menimbulkan gelombang kritik luas dari kalangan akademisi dan alumni UI.

Dalam surat keberatannya, ILUNI FKUI menyebut pertemuan antara ILUNI UI dan Bahlil sebagai tindakan yang berpotensi melemahkan otoritas rektor dan organ etik UI.

“Keputusan Rektor UI untuk menangguhkan kelulusan Bahlil adalah langkah tegas menjaga integritas akademik. Pertemuan ILUNI UI dapat diartikan sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap proses etik yang masih berjalan,” tulis ILUNI FKUI.

Selain itu, ILUNI FKUI menilai langkah tersebut memperkuat persepsi adanya standar ganda di lingkungan akademik UI.

“Mahasiswa S1 yang melakukan plagiarisme langsung di-drop out, sementara pelanggaran berat di tingkat doktoral justru ditoleransi,” tulis mereka.

ILUNI FKUI juga menilai bahwa tindakan tersebut merusak citra almamater, mengirim pesan keliru kepada generasi muda, dan mengabaikan rekomendasi Dewan Guru Besar UI sebagai otoritas akademik tertinggi.

Dalam bagian akhir suratnya, ILUNI FKUI mengajukan lima tuntutan utama, antara lain meminta Ketua Umum ILUNI UI meminta maaf kepada sivitas akademika UI, ILUNI UI memberikan klarifikasi publik atas maksud dan tujuan pertemuan dengan Bahlil. Mendukung rekomendasi Dewan Guru Besar UI untuk membatalkan disertasi yang bermasalah. Menghentikan semua bentuk kegiatan yang bisa ditafsirkan sebagai dukungan terhadap pelanggaran etika akademik dan mengeluarkan pernyataan resmi untuk menegaskan komitmen ILUNI UI terhadap penegakan integritas akademik tanpa pandang jabatan.

Kasus ini menjadi cermin krisis etika di perguruan tinggi yang berhadapan dengan kekuasaan politik.
Universitas Indonesia—yang selama ini dianggap mercusuar intelektual nasional—tengah diuji kemampuannya menjaga independensi moral di tengah tarik-menarik kepentingan politik dan status sosial pejabat negara.

Surat keberatan ILUNI FKUI ini memperlihatkan bahwa alumni tidak lagi pasif, dan berani mengingatkan kampus serta organisasinya sendiri untuk tidak terjebak dalam kompromi moral.
Lebih jauh, sikap ini dapat menjadi preseden baru dalam gerakan moral akademisi Indonesia yang menuntut agar integritas ilmiah tidak tunduk pada kekuasaan.

“Universitas tanpa keberanian etika bukan lagi menara ilmu, melainkan menara gading yang rapuh,” tulis salah satu alumni senior FKUI dalam catatan pendamping surat tersebut.