Jakarta, Aktual.com — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, menegaskan pentingnya transformasi energi dan hilirisasi sumber daya alam sebagai langkah strategis untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional.
Ia menyampaikan, kebijakan tersebut tidak hanya bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap impor energi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.
Menurut Bahlil, capaian signifikan telah terlihat melalui program biodiesel yang berhasil menekan impor solar secara drastis. “Saat ini impor solar kita tinggal 4,9 juta ton per tahun dari total konsumsi sekitar 34 hingga 35 juta ton. Hal ini terjadi karena Indonesia telah berhasil melakukan transformasi energi menuju biodiesel B40 dan B50,” ujar Bahlil dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Ia menambahkan, keberhasilan program biodiesel menjadi pijakan penting untuk melanjutkan transformasi serupa pada bahan bakar bensin. Pemerintah kini tengah mendorong penggunaan etanol melalui program E10 dan E20 sebagai upaya menekan impor bensin.
“Etanol dapat dihasilkan dari jagung, tebu, dan singkong. Selain memperkuat ketahanan energi, program ini juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah,” jelasnya.
Bahlil juga menanggapi pandangan sebagian pihak yang meragukan efektivitas penggunaan etanol. Menurutnya, sejumlah negara besar telah membuktikan keberhasilan kebijakan tersebut.
“India telah menerapkan E30, Amerika Serikat menggunakan E20, dan Thailand sudah mencapai E20. Bahkan di beberapa wilayah Amerika, kandungan etanol pada bahan bakar mencapai 85 persen,” ucapnya.
Selain sektor bahan bakar, Bahlil menyoroti ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG. Dari total kebutuhan 8,5 juta ton per tahun, produksi domestik hanya mencapai 1,3 juta ton sehingga sisanya masih harus impor.
“Kita memiliki cadangan gas yang besar, tetapi sebagian besar masih berupa gas C1 dan C2 yang belum bisa jadi bahan baku LPG. Karena itu, pemerintah terus mendorong pengembangan gas C3 dan C4 serta hilirisasi batubara menjadi DME agar kebutuhan LPG dapat terpenuhi dari dalam negeri,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Bahlil menegaskan komitmen pemerintah dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) meskipun menghadapi tantangan biaya yang tinggi. Transisi energi ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement.
“Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, sekitar 69,5 gigawatt kapasitas listrik akan diarahkan untuk energi terbarukan seperti tenaga surya, air, angin, panas bumi, hingga energi laut,” paparnya.
Bahlil juga menyoroti pentingnya hilirisasi sumber daya alam untuk mengakselerasi industrialisasi nasional. Ia menyebut, hilirisasi adalah satu-satunya jalan agar Indonesia tidak terus terjebak dalam kutukan sumber daya alam.
“Pada 2018 nilai ekspor nikel hanya sebesar 3,3 miliar dolar AS. Namun setelah kebijakan hilirisasi berjalan, pada 2024 nilai ekspor tersebut meningkat menjadi 34 miliar dolar AS,” jelasnya.
Meski demikian, Bahlil mengakui, sistem hilirisasi di Indonesia masih perlu pembenahan agar lebih adil dan terstruktur. “Hilirisasi yang berjalan selama ini belum sepenuhnya berbasis desain. Kita ingin ke depan keterlibatan daerah lebih besar melalui BUMD, koperasi, dan UMKM, agar masyarakat lokal menjadi tuan di negerinya sendiri,” ujarnya.
Untuk memperkuat pembiayaan sektor hilirisasi, pemerintah kini menggandeng lembaga pembiayaan nasional BPI Danantara. Satgas Hilirisasi, katanya, telah mengajukan 18 proyek strategis dengan total nilai investasi hampir Rp300 triliun.
“Sebagian besar proyek ini berasal dari sektor energi dan sumber daya mineral, dan seluruhnya akan dibiayai oleh Danantara agar nilai tambah ekonomi tetap berada di dalam negeri,” terang Bahlil.
Di akhir pernyataannya, Menteri Bahlil Lahadalia menekankan, transformasi energi dan hilirisasi adalah dua elemen penting yang saling melengkapi dalam upaya memperkuat kedaulatan bangsa.
“Kita harus memastikan seluruh pengelolaan kebijakan energi dan hilirisasi secara berkelanjutan, adil, dan berpihak pada kepentingan nasional. Kemandirian energi adalah kunci menuju Indonesia yang berdaulat dan berdaya saing,” pungkasnya.
Laporan: Rachma Putri
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















