Jakarta, aktual.com — Anggota Komisi VI DPR RI sekaligus Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), Herman Khaeron, menyoroti kondisi keuangan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh yang hingga kini terus mencatat kerugian. Ia menegaskan, pemerintah harus memberikan kepastian siapa yang akan menanggung beban utang dan kerugian proyek tersebut.

“Whoosh ini rugi, dan kalau rugi berarti ada yang harus membiayai. Karena pendapatan yang ada tidak cukup menutup biaya operasional dan bunga pinjaman,” ujar Herman Khaeron saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (31/10).

Menurut Herman, proyek yang digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) bersama konsorsium BUMN tersebut sebelumnya dirancang dengan konsep ekosistem bisnis terintegrasi, bukan sekadar layanan transportasi cepat antara Jakarta dan Bandung. Pendapatan tambahan semestinya datang dari pengembangan kawasan di sekitar stasiun, seperti Halim, Tegalluar, dan Walini, yang sejak awal menjadi bagian dari rencana bisnis konsorsium.

Namun, ia menilai banyak potensi itu kini tidak berjalan optimal akibat efisiensi pembangunan dan keterlambatan proyek pengembangan kawasan. Akibatnya, pendapatan utama bergantung sepenuhnya pada tiket penumpang yang belum mampu menutup biaya.

“Sekarang kan okupansinya hanya sekitar 18 ribu penumpang di hari kerja dan 20 ribu di akhir pekan, jauh dari target awal 60 ribu per hari. Dengan kondisi itu, tentu tidak cukup untuk menutup bunga maupun pokok utang,” jelasnya.

Herman memperkirakan kerugian proyek tersebut mencapai sekitar Rp 2 triliun per tahun, sementara sebelumnya pernah tercatat kerugian hingga Rp 4,2 triliun.

Lebih lanjut, Herman menilai pemerintah kini dihadapkan pada dua pilihan strategis. Pertama, menjadikan proyek Whoosh sebagai objek investasi negara yang dibiayai melalui APBN, jika dianggap sebagai investasi sosial untuk mengurangi kemacetan dan meningkatkan produktivitas nasional. Atau kedua, tetap mempertahankan skema business to business (B2B) dengan melakukan restrukturisasi utang dan peningkatan pendapatan agar proyek dapat mandiri secara finansial.

“Kalau memang ini investasi sosial, ya tidak masalah kalau negara menanggung kerugian melalui APBN. Tapi kalau Menkeu bilang APBN tidak akan membayar, ya harus jelas siapa yang menomboki kerugian ini,” tegasnya.

Herman menambahkan, DPR melalui Komisi VI akan segera meminta penjelasan resmi dari KCIC, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, serta Danantara Aset Management sebagai superholding pengelola aset BUMN terkait langkah penyelamatan keuangan proyek.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut proyek Whoosh sebagai investasi sosial “ada betulnya juga sedikit”. Ia menilai pembangunan kereta cepat tak semata soal keuntungan finansial, tetapi juga memiliki misi pengembangan kawasan (regional development).
Namun, Purbaya menegaskan bahwa APBN tidak bisa terus-menerus menanggung beban proyek tersebut.

“Karena ini proyek B2B dengan porsi besar saham BUMN, maka tidak bisa serta-merta ditutup pakai APBN,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Ia menyebut pengelolaan dividen BUMN kini berada di bawah Danantara Aset Management, yang berfungsi menyalurkan pembiayaan strategis tanpa membebani fiskal negara secara langsung.

Herman menilai pandangan Purbaya itu logis, namun tetap menimbulkan pertanyaan baru.

“Memang benar sekarang dividen BUMN dikelola oleh Danantara. Tapi masa keuntungan dari BRI atau Mandiri harus dipakai untuk menutupi kerugian Whoosh? Ini yang harus dirumuskan kembali,” kata politisi Partai Demokrat itu.

Herman mengingatkan, proyek Whoosh memerlukan rencana restrukturisasi yang matang agar tidak terus menjadi beban jangka panjang. Ia menilai pengembangan jalur ke Surabaya bisa menjadi solusi untuk meningkatkan okupansi, namun juga berpotensi menambah utang jika tidak disertai perhitungan bisnis yang cermat.

“Kalau basisnya utang lagi, pasti hutangnya bertambah. Tapi kalau dihitung dengan matang dan ada nilai tambah bagi negara, ya silakan saja. Yang penting jangan terburu-buru,” pungkasnya.

(Taufik Akbar Harefa)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain