Jakarta, aktual.com – Dalam kurun waktu dekat ini banyak tuduhan yang dilayangkan terhadap pondok pesantren oleh sebagian oknum-oknum yang tidak mengetahui secara detail proses pendidikan yang terjadi di dalam pesantren. Menariknya, dengan ketidaktahuan mereka terhadap pendidikan pesantren dan minimnya keilmuan mereka dalam bidang agama islam, mereka mampu berasumsi negatif bahkan menghukumi kejadian-kejadian yang terjadi di pesantren itu sebagai hal yang tidak wajar dan tidak manusiawi bahkan menyebutkan bahwa kejadian tersebut merupakan bagian dari feodalisme. Dalam hal ini adalah ta’dzim atau penghormatan terhadap guru dengan cara duduk bersimpuh, berjalan dengan menunduk dan mencium tangan guru. Dari hal tersebut terdapat sebuah perkataan dari para ulama’:
” من تكلم في غير فنه أتى بالعجائب
“Siapa yang berbicara tentang perkara yang bukan keahliannya, maka akan muncul keanehan-keanehan dari ucapannya.”
Maka dari apa yang sudah penulis jelaskan di atas, bisa mengambil kesimpulan bahwa ketidaktahuan kita terhadap sesuatu akan mempengaruhi prespektif penilaian terhadap sesuatu tersebut. Disini kita akan melihat apakah argumentasi dan statment yang mereka layangkan bahwasannya penghormatan kepada guru dengan cara yang sudah disebutkan di atas tidak ada landasannya dari hukum islam benar atau tidak.
Pada dasarnya, inti poin dari sikap penghormatan terhadap orang tua, guru maupun orang lain secara umum sudah disebutkan dan diperintahkan melalui teks Al Qur’an, Al Hadist dan Ijma’ (konsesus) para ulama’. Yang mana ketiga sumber diatas merupakan sumber utama dalam pengambilan hukum-hukum islam seperti yang sudah dijelaskan di dalam ilmu Ushul Fiqh. Hanya saja cara dalam merealisasikan penghormatan tersebut berbeda-beda tergantung adat, lingkungan serta zaman yang berlangsung.
Berikut penulis lampirkan sebagian kecil dari dalil-dalil tersebut:
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا….. (الأية)
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allâh memperhitungkan segala sesuatu.” (Surat An-Nisa’: 86)
Ayat ini secara garis besar mengajarkan kepada kita tentang etika dan tata krama. Bagaimana seharusnya manusia hidup saling menghormati satu sama lainnya, hidup saling berdampingan dan hidup secara harmonis. Bahkan di dalam ayat ini kita diperintahkan untuk menghormati sesorang melebihi apa yang telah mereka berikan dari penghormatan kepada kita. Ayat ini bersifat umum, sehingga masuk didalamnya penghormatan terhadap orang tua, guru, saudara dan yang lainnya.
Maka dari itu kita bisa menggunakan ke umuman ayat ini sebagai dalil atau hujjah bagi orang yang menafikan adanya dalil penghormatan terhadap guru. Hal ini sesuai dengan qaidah ushuliyah yang berbunyi:
العام يبقى على عمومه حتى يدخله التخصيص
“Sesuatu yang bersifat umum akan tetap bersifat umum sampai ada dalil yang mengkhususkan sesuatu tersebut.”
Bahkan para ulama’ mewajibkan kita untuk mengambil hukum yang sifatnya umum sebelum ada dalil yang mengkhususkannya. Hal ini terangkum didalam qaidah ushuliyah:
يجب العمل بالعام حتى يرد المخصوص
“Diwajibkan untuk beramal dengan hukum dalil umum sampai adanya dalil yang mengkhususkan.”
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا ( الحديث)
“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang yang dituakan diantara kami.” (Sunan At-Tirmidzi, Lihat Shahiihul jaami’ no.5445)
Hadist ini juga memberikan peringatan kepada kita agar senantiasa memuliakan orang yang lebih tua dari kita dan menyayangi orang yang lebih muda bagi kita. Memuliakan orang yang lebih tua adalah manifestasi dari penghormatan kita terhadap yang lebih tua. Hal ini juga bersifat umum sehingga masuk didalamnya orang tua, guru, saudara dan lain-lain.
Adapun tata cara dalam penghormatan masih-masing daerah ataupun negara memiliki ciri khas dan kriteria tersendiri. Apakah hal ini boleh dilakukan sesuai dengan adat di daerah atau negara masing-masing?, menurut pendapat pribadi penulis tentu boleh. Hal ini sesuai denga napa yang ada didalam qaidah ushuliyah maupun qaidah al fiqhiyah. Berikut lafadz dari qaidah tersebut:
العدة محكمة
Artinya: adat atau kebiasaan bisa menjadi landasan hukum.
Makna dari qaidah ini adalah sebuah adat bisa menjadi landasan hukum dalam muamalah keseharian kita ketika dalam kehidupan sosial maupun transaksi jual beli ketika tidak ada nash langsung dari al qur’an, al hadist,ijma’ atau konsesus dari para ulama’ maupun qiyas.
العبرة بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ أو بالمباني
“Tolak ukur sebuah sesuatu itu dilihat dari esensial atau tujuan dari hal tersebut, bukan dilihat dari lafadz ataupun tidakan fisik secara lahiriyah.”
الأمور بمقاصدها
“Segala sesuatu tergantung dari niat dan tujuannya.”
Makna dari apa yang bisa kita ambil bersama dari qaidah-qaidah diatas adalah bagaimana seharusnya kita memandang kalau niat dan tujuan itu lebih penting daripada hal yang sifatnya material belaka. Maka penghormatan terhadap guru bentuknya bisa bermacam-macam yang jelas dengan niatan yang tulus tanpa ada niat mengkultuskan dan lain-lain.
Adapun penilaian feodalisme dari sebagian perilaku lahiriyah kaum santri itu sangat cenderung relatif. Pandangan dari setiap orang bisa saja berbeda-beda maka kita perlu merujuk kepada esensial dari sebuah perilaku bukan hanya melihat secara material ataupun perilaku lahiriyah. Tulisan ini tidak mewakili semua dalil yang ada, hanya saja tulisan ini ditujukan untuk memberikan sedikit pemahaman tentang adanya dalil dan bagaimana cari menyimpulkan hukum dengan melihat aspek-aspek penting dalam tata cara pengambilan sebuah hukum. Semoga bisa sedikit menjawab problematika yang sedang ramai diperbincangkan saat ini.
Wallahu a’lam
(Muhammad Misbahul Munir)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















