Jakarta, aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau, Abdul Wahid (AW), yang dilakukan beberapa waktu lalu. Dalam proses penyelidikan, KPK menemukan sejumlah fakta terkait kondisi keuangan daerah yang memprihatinkan dan ada dugaan penyalahgunaan kewenangan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan KPK, Brigjen Pol Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima informasi dari para kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) terkait adanya permintaan uang di tengah situasi keuangan daerah yang sulit. “Informasi yang kami terima dari para kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri,” ujarnya.

Asep menilai kondisi tersebut sangat memprihatinkan karena terjadi saat keuangan daerah sedang defisit berat. Ia menyinggung adanya pernyataan dari Gubernur Riau, Abdul Wahid, pada Maret 2025 yang menyebut bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau tengah berada dalam posisi minus.

“Bahwa APBD Riau itu defisit. Defisit Rp1,3 triliun. Kemudian yang perundaan bayar itu Rp2,2 triliun kalau tidak salah. Sehingga defisitnya Rp3,5 triliun,” katanya.

Menurut Asep, defisit tersebut berdampak besar terhadap belanja daerah, terutama pada tiga komponen utama yaitu belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Ia menjelaskan bahwa pembayaran gaji biasanya menjadi prioritas utama, sementara belanja barang dan belanja modal seperti pembangunan fisik sering tertunda.

“Dengan Rp2,5 triliun defisit, artinya sebetulnya semuanya itu berpotensi terganggu. Ketiga hal ini, belanja-belanjanya ini akan terganggu. Uangnya enggak ada,” ucapnya.

Dalam situasi sulit itu, Asep menegaskan bahwa seharusnya tidak ada permintaan uang dari atasan kepada bawahannya. “Seharusnya dengan tidak adanya uang, orang kan ini lagi susah nih, enggak ada uang. Jangan dong minta itu. Jangan membebani pegawainya. Jangan membebani bawahannya. Tapi ini kan ironi. Di saat defisit, anggaran belanjanya terganggu karena defisit itu, sementara malah minta sejumlah uang,” ujarnya.

Asep juga mengaitkan kasus ini dengan pola korupsi yang sering ditemui KPK dalam sejumlah perkara sebelumnya. Biasanya, kata dia, pemotongan dana proyek dilakukan setelah proyek berjalan.

Namun kali ini, karena anggaran defisit dan proyek belum dilaksanakan, para pejabat di bawah justru terdesak untuk mencari uang dengan cara lain. “Ini kan karena anggarannya defisit, proyek itu kan belum dilaksanakan. Akhirnya mereka, karena belum ada uangnya, ya tadi pinjam. Ini keterangan dari para kepala UPT. Pinjam, ada yang gadaikan sertifikat dan lain-lain,” ungkapnya.

KPK menilai, situasi ini menunjukkan adanya tekanan struktural terhadap para pejabat di lapangan yang akhirnya terpaksa mencari dana pribadi atau berutang demi memenuhi permintaan atasan. Praktik seperti ini, menurut Asep, bukan hanya merugikan keuangan daerah tetapi juga mencerminkan buruknya tata kelola anggaran di tengah kondisi fiskal yang kritis.

OTT terhadap Gubernur Abdul Wahid menambah daftar panjang kepala daerah di Riau yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya, dua mantan gubernur Riau juga ditangkap KPK dalam kasus serupa, menegaskan bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan di tingkat daerah masih menjadi persoalan serius dalam pemerintahan provinsi tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain