Bekasi, Aktual.com – Deretan pakaian lusuh yang dijemur, berjajar di tali plastik, melengkapi kesumpekan deretan bedeng bedeng sempit para pengais sampah.
Aroma tak sedap dari gunungan sampah dibelakang, menjalar di gang-gang sempit, padat menjadi keseharian para penghuni Tempat Pebuangan Sampah Terpadu (TPSP) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Narpan (45) atau sering disapa Apong mengaku, bukan pertama kali dirinya dan warga penghuni TPSP Bantargebang mendengar rencana pemerintah untuk merubah gunungan sampah menjadi energi, diantaranya Refuse Derived Fuel (RDF). Bahkan sebagian dari mereka pernah mendapat pelatihan untuk memilah sampah dalam program Waste to Energi/ Refuse Derived Fuel (WtE/RDF).
Selain itu, Apong tahu betul bagaimana program seperti ini sering dimulai dengan seremoni besar, tapi berakhir tanpa kelanjutan.
“Dari dulu katanya ada pembangkit listrik tenaga sampah, Tapi nggak jalan. Paling cuma uji coba. Jalan beberapa bulan, lalu berhenti lagi,” ungkapnya kepada aktual.com.
Baca juga:
Menunggu Bukti Istana, Sulap Sampah Jadi Listrik
Menurutnya, banyak program berhenti di tengah jalan bukan karena warga menolak, melainkan karena tidak ada keberlanjutan dan pelibatan warga serta pihak swasta.
“Kalau pemerintahnya yang jalanin sendiri, saya nggak terlalu yakin. Tapi kalau swasta, saya percaya. Biasanya mereka lebih serius,” tambahnya.
Bagi Apong dan ribuan pemulung yang setiap hari mengais sampah di TPSP Bantargebang, program Presiden Prabowo merubah sampah menjadi listrik memiliki dua wajah. Harapan dan ke khwatiran. Dan mereka berharap tak ditinggalkan begitu saja bila program pemerintah ini benar benar berjalan.
“Kalau benar jalan, kami dukung. Tapi jangan sampai ribuan pemulung ini kehilangan pekerjaan,” harapnya.
Pelibatan Para pemulung Adalah Kunci
Apong, yang juga ketua komunitas Pemulung Bantar Gebang Sejahtera (KPBS) mengaku, dirinya dan anggota kelompoknya yang berjumlah 500 orang seringkali hanya dilibatkan diawal dalam berbagai program pemerintah terkait pengelolaan sampah, dan setelah itu dilupakan.
“Awalnya bagus. Tapi pas udah (berjalan) diserahin ke pemerintah, kita dikeluarin. Diganti orang luar. Mereka yang kerja dari awal, mereka yang ngerti. Tapi malah nggak diajak lagi,” kondisi itu yang menurut Apong akhirnya memicu gesekan, hingga unjukrasa para pemulung.
Baca juga:
Proyek Sampah Jadi Listrik dan Bayang Bayang Korupsi Serta Racun Baru
Presiden Prabowo berharap, program Waste to Energy (WtE) di Bantargebang mampu mengolah sampah lama menjadi bahan energy listrik. Dan para ribuan pengais sampah Bantargebang berharap proses pemilahan sampah tetap dijalankan sebelum pembakaran.
“Kalau bisa, sampah baru dipilah dulu sama pemulung. Residunya baru dibakar. Jadi dua-duanya jalan, energinya ada, kerjaan kami juga masih ada,”pintanya.
Tak hanya itu, Apong pun berpendapat, keterlibatan masyarakat lokal adalah kunci keberhsilan program. Keterlibatan masyarakat bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga soal keamanan sosial.
“Kalau karyawannya orang jauh semua, ya susah. Yang paling paham kerjaan di sini ya orang sini,” tegasnya.
Sisi lain Gunung Sampah Bantargebang
Bagi sebagian orang TPSP Bantargebang bukan hanya sekedar gunungan limbah dari berbagai wilayah Jakarta dan sekitarnya yang datang setiap hari. Namun temapat ini merupakan ruang hidup dan sosial bagi komunitas pemulung dan para pengais sampah yang berjumlah hamper 1000 orang.
Anggota komunitas pemulung ini berasal dari berbagai daerah, seperti Indramayu, Cirbon dan daerah lainnya. Sebelum menjadi pemulung mereka pernah bekerja serabutan dalam berbagai bidang.
Apong sang Ketua pun sebenarnya berasal dari Pandeglang, sebelumnya ia bekerja serabutan dari kuli bangunan hingga menjadi pemulung, dan masuk ke kawasan TPSP Bantargebang ini pada tahun 2000-an.
Baca juga:
Mampukah Sampah Setinggi Gedung 15 lantai Diubah Jadi Enegi?
Apong mengungkapkan komunitannya solid meski sering diabaikan, mereka bahu membahu mencari jalan untuk menyelesaikan kesulitan.
“Kalau ada yang sakit, kita urusin BPJS-nya. Kadang ada yang susah, ya kita cariin bantuan. Soalnya pemulung boro-boro buat bayar rumah sakit, buat nunggu aja nggak punya duit,” ucapnya.
Tak hanya itu, Ia pun bercerita, beberapa tahun terakhir, komunitasnya berhasil mendorong anak-anak pemulung melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi.
“Sekarang udah lumayan. Anak-anak bisa sampai SMA. Saya pengennya sih sampai kuliah. Kalau anak- anaknya berpendidikan, mereka nggak akan balik lagi ke sampah,” harapnya.
Baca juga:
Walhi Sebut Perpres 109 2025 “Jurus Mabuk” Pemerintah Atasi Darurat Sampah
Namun, di balik semangat itu, masih ada kerentanan tempat tinggal. Banyak pemulung hidup di lahan sewa tanpa kepastian.
“Harapan saya, pemerintah itu nyiapin lahan buat pemulung. Kalau bisa dibuatin rumah susun. Biar nggak pindah-pindah terus. Hidup tenang aja udah syukur,” ujarnya.
Sambil memandang ke arah gunungan sampah di kejauhan. Dan sapuan hembusan angin yang membawa bau lindi bercampur dengan suara tawa kecil mereka, Apong berharap.
“Anak-anak itu sering main di situ. Kadang saya mikir, semoga nanti mereka nggak hidup di tempat kayak gini lagi.”
Laporan: Yassir Fuady
Artikel ini ditulis oleh:
Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

















