Jakarta, aktual.com – PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk, yang dahulu dikenal sebagai PT Gowa Makassar Tourism Development Corporation (PT GMTD), menyampaikan pernyataan tegas bahwa klaim PT Hadji Kalla mengenai kepemilikan lahan 16 hektare di kawasan Tanjung Bunga adalah klaim yang tidak memiliki dasar hukum, bertentangan dengan dokumen resmi Pemerintah Republik Indonesia, dan tidak sesuai dengan fakta historis maupun administrasi pertanahan nasional yang berlaku sejak tahun 1991.
1. Dasar Hukum Kawasan Tanjung Bunga Ditentukan oleh Dokumen Negara — Bukan Klaim Sepihak.
Kawasan Tanjung Bunga telah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan wisata terpadu yang sepenuhnya berada dalam mandat tunggal PT GMTD melalui:
• SK Menteri PARPOSTEL – 8 Juli 1991.
• SK Gubernur Sulsel – 5 November 1991 (1.000 Ha).
• SK Penegasan Gubernur – 6 Januari 1995.
• SK Penegasan & Larangan Mutasi Tanah – 7 Januari 1995.
Keempat dokumen negara ini menyatakan secara eksplisit:
➤ Hanya PT GMTD yang berwenang membeli, membebaskan, dan mengelola tanah di kawasan Tanjung Bunga.
➤ Tidak ada pihak lain yang diperbolehkan memproses atau memiliki tanah pada periode tersebut.
Ini adalah keputusan negara, bukan opini.
2. Kepentingan Publik: Tanjung Bunga Dibangun Sebagai Proyek Pemerintah untuk
Makassar–Gowa.
Penetapan mandat tunggal PT GMTD sejak 1991 adalah bagian dari kebijakan pembangunan nasional untuk:
• Membuka kawasan wisata terpadu Makassar–Gowa.
• Mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
• Mengaktifkan investasi ketika pemerintah tidak memiliki anggaran.
• Menata kawasan rawa menjadi pusat pertumbuhan baru.
Investasi awal PT GMTD-lah yang membangun akses, jalan, pematangan lahan, dan infrastruktur dasar yang menjadi fondasi hadirnya berbagai pembangunan lain di Tanjung Bunga.
Penting untuk dipahami publik bahwa tanpa mandat pemerintah kepada PT GMTD, kawasan ini tidak akan berkembang seperti hari ini.
3. Klaim “Penguasaan Fisik Sejak 1993” Tidak Memiliki Nilai Hukum.
Pernyataan PT Hadji Kalla bahwa mereka telah menguasai fisik lahan sejak 1993 adalah tidak relevan secara hukum, karena pada tahun tersebut:
• Kawasan masih berupa rawa dan tanah negara.
• Tidak ada pasar tanah.
• Tidak ada izin lokasi lain selain PT GMTD.
• Tidak ada satu pun SK atau izin pemerintah yang memberikan hak kepada pihak lain.
Dalam hukum agraria Indonesia:
➤ Penguasaan fisik tidak melahirkan hak kepemilikan tanpa izin pemerintah.
Karena itu, klaim penguasaan fisik tidak dapat mengalahkan dokumen negara.
4. Sertifikat HGB yang Disebutkan Harus Diuji Legalitas OBJEK Tanahnya.
PT Hadji Kalla mengutip keberadaan Sertifikat HGB (SHGB) dari BPN.
PT GMTD perlu menegaskan:
➤ Sertifikat tidak sah apabila objek tanahnya berada pada kawasan yang telah dicadangkan secara resmi kepada pihak lain.
Jika SHGB tersebut diterbitkan:
• Tanpa izin lokasi.
• Tanpa IPPT.
• Tanpa persetujuan gubernur.
• Tanpa pelepasan hak negara.
• Tanpa persetujuan PT GMTD (pemegang mandat tunggal),
maka SHGB tersebut:
➤ Dapat dibatalkan secara administratif,
➤ Tidak menciptakan hak kepemilikan yang sah, dan
➤ Tidak dapat digunakan untuk mengklaim lahan negara yang telah dicadangkan terlebih dahulu.
PT GMTD mempersilahkan PT Hadji Kalla untuk menunjukkan dasar hukum penerbitan SHGB itu pada periode 1991–1995.
Kami meyakini dokumen tersebut tidak pernah ada, karena memang tidak pernah diterbitkan.
5. Klaim “Pembebasan 80 Hektare 1980-an” Tidak Tercatat Dalam Arsip Pemerintah.
Faktanya:
• Normalisasi Sungai Jeneberang adalah kontrak pekerjaan, bukan perolehan hak atas tanah.
• Tidak pernah ada pencadangan tanah untuk Kalla.
• Tidak ada SK Gubernur terkait pemberian hak.
• Tidak ada pencatatan pembebasan tanah di BPN, Pemprov Sulsel, maupun Pemkot Makassar.
Menghubungkan pekerjaan sungai dengan klaim kepemilikan tanah adalah tidak akurat dan menyesatkan publik.
6. Tidak Ada Putusan Pengadilan atau Surat BPN yang Membatalkan SK-SK Pemerintah.
















