Komisi III DPR RI menggelar rapat audiensi dengan Aliansi Mahasiswa Nusantara di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (15/10/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi
Komisi III DPR RI menggelar rapat audiensi dengan Aliansi Mahasiswa Nusantara di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (15/10/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

Jakarta, aktual.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai nama mereka disertakan secara sepihak dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHAP di Komisi III DPR. Dalam siaran pers berjudul “Manipulasi Partisipasi Bermakna, Pencatutan Nama Koalisi dan Kebohongan DPR: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP!”, Senin (17/11/2025), mereka menyampaikan keberatannya.

Koalisi menyoroti bahwa rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP hanya berlangsung dua hari, 12–13 November 2025. Mereka menyebut, “Pada rapat tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan masyarakat sipil,” ungkap Koalisi.

Adapun kelompok yang tergabung dalam koalisi antara lain YLBHI, LBHM, IJRS, LBH APIK, Lokataru Foundation, ILRC, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI. Namun, Koalisi menilai pandangan mereka tidak dipresentasikan secara benar dalam forum DPR.

Mereka menyatakan, “Sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat Panja tersebut ternyata tidak akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal, antara lain melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau melalui penyerahan draf RUU KUHAP tandingan atau dokumen masukan lainnya kepada DPR dan Pemerintah,” kata Koalisi.

Koalisi merasa ada upaya dari DPR untuk menciptakan kesan bahwa aspirasi mereka telah diakomodasi dalam draf RUU KUHAP. Mereka menilai, “Kami menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil,” ujar mereka. Koalisi juga mengkritik waktu pembahasan yang dianggap terlalu singkat sehingga aspek substansial terlewatkan.

Dalam penjelasannya, Koalisi memaparkan beberapa contoh usulan yang diklaim sebagai masukan mereka oleh DPR. Salah satunya terkait Pasal 222 draf RKUHAP mengenai perluasan alat bukti lewat pengamatan hakim, serta penjelasan Pasal 33 ayat (2) mengenai definisi intimidasi yang dibatasi pada penggunaan atau penunjukan senjata atau benda tajam saat pemeriksaan. Koalisi menegaskan, “Tidak ada yang pernah mengajukan masukan tersebut atas nama koalisi, termasuk dalam draf tandingan versi Koalisi Masyarakat Sipil maupun dokumen masukan lainnya,” tegas Koalisi.

Mereka juga membantah klaim bahwa YLBHI mengusulkan pasal baru terkait Perlindungan Sementara. “YLBHI tidak pernah memberikan masukan redaksional atau usulan pasal baru mengenai Perlindungan Sementara dengan mekanisme yang ada dalam Draf RKUHAP terbaru,” jelas Koalisi.

Selain itu, disebut pula bahwa LBH APIK Jakarta dan Organisasi Penyandang Disabilitas Nasional diklaim DPR mengusulkan Pasal 208 yang mengatur bahwa keterangan saksi penyandang disabilitas tidak dapat disumpah. Koalisi menegaskan bahwa klaim tersebut tidak benar.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain