Ilustrasi Dakwah
Ilustrasi Dakwah

Jakarta, aktual.com – Belakangan ini, pendakwah tengah menjadi sorotan dan kritikan tajam oleh masyarakat Indonesia. Kritikan tersebut bukanlah tanpa alasan yang jelas, melainkan sebuah respon terhadap tindakan dan perilaku dari seorang pendakwah yang tidak mencerminkan nilai positif.

Kita dapat menyaksikan banyak sekali para pendakwah yang sangat fasih ketika berceramah tentang akhlak, namun perilakunya justru tidak mencerminkan apa yang ia sampaikan, atau ketika ia mengajarkan kesederhanaan namun hidupnya penuh dengan kemewahan berlebihan, ada juga yang menyerukan kebaikan justru terkena jerat skandal moral.

Lalu bagaimana sebenarnya dakwah yang benar?

Allah SWT berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik.” (QS. An-Nahl [16]: 125).

Hikmah dalam ayat ini bukan hanya tentang bijaksana dalam berkata-kata, tetapi juga dalam bertindak. Dakwah dengan hikmah mencakup memahami konteks, menjaga batasan-batasan syariat, dan menghormati martabat setiap individu, termasuk anak-anak.

Alasan kenapa seorang pendakwah haruslah mampu memberikan contoh teladan yang baik karena seorang da’i memiliki otoritas simbolik yang sangat kuat dalam komunitas Muslim. Ketika seorang da’i melakukan suatu tindakan di depan jamaah, tindakan tersebut tidak hanya dipersepsikan sebagai tindakan personal, tetapi juga sebagai model perilaku yang “diizinkan” bahkan “dicontohkan” dalam Islam.

Seorang psikolog penggagas social cognitive theory (SCT) bernama Albert Bandura, menyampaikan sebuah teori bahwa manusia belajar melalui observasi terhadap sesuatu yang belum ia ketahui. Albert mencontohkan dengan seorang anak mendekati sekelompok anak yang sedang bermain permainan di lapangan bermain.

Permainan tersebut terlihat menyenangkan, tetapi baru dan tidak familiar. Alih-alih langsung bergabung, anak tersebut memilih untuk duduk dan menonton anak-anak lain bermain satu atau dua putaran. Dengan mengamati perilaku anak-anak lain saat bermain, anak tersebut mencatat cara-cara mereka berperilaku. Dengan mengamati perilaku anak-anak lain, anak tersebut dapat memahami aturan permainan dan bahkan beberapa strategi untuk bermain dengan baik.

Begitu juga dalam berdakwah, jamaah yang kita analogikakan dengan seorang anak kecil yang belum mengetahui batas-batas agama, melihat tindakan seorang pendakwah yang notabene telah paham batas-batasannya, berperilaku melanggar batas dan norma agama. Maka jamaah tersebut akan mengikuti pola dan tindakan yang dilakukan oleh pendakwah karena memiliki otoritas dan status lebih tinggi.

Oleh karena itu, ketika dalam berdakwah kita harus memberikan contoh dan perilaku yang baik terhadap jamaah. Allah Swt berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ۝ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf [61]: 2-3)

Dakwah memang tindakan yang sangat baik bahkan dianjurkan oleh Rasulullah Saw,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari).

Namun menyampaikan bukan sekadar mengucapkan dengan lisan, tetapi menghadirkan dengan perbuatan. Karena, menyampaikan ayat disertai dengan mengamalkannya lebih berdampak besar dalam proses dakwah. Allah Swt berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang Muslim.'” (QS. Fussilat [41]: 33).

Jika kita melihat urutan dari ayat tersebut. Pertama, menyeru kepada Allah Swt (dakwah); kedua, mengerjakan kebajikan (beramal); ketiga, menyebut identitas diri sebagai Muslim. Dakwah tanpa adanya amal adalah tindakan yang kosong dan tidak berarti, dan beramal adalah bukti bahwa kita adalah seorang muslim sejati.

Umar bin Khattab berkata,

لَا يَغُرَّنَّكُمْ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ، فَإِنَّمَا الْقُرْآنُ كَلَامٌ نَتَكَلَّمُ بِهِ، وَلَكِنِ انْظُرُوا إِلَى مَنْ يَعْمَلُ بِهِ

“Janganlah kamu tertipu oleh orang yang membaca Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah perkataan yang kita ucapkan. Akan tetapi, lihatlah kepada siapa yang mengamalkannya,”.

Waallahu a’lam

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain