Depok, aktual.com – Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Ir. H. Tifatul Sembiring menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan teks yang tidak dapat disentuh. Tetapi UUD NRI Tahun 1945 adalah dokumen yang hidup dan harus terus disempurnakan.
Pernyataan itu disampaikan Tifatul Sembiring saat membuka Forum Group Discussion (FGD) Kelompok IV Badan Pengkajian MPR RI bertajuk “Kajian Komperhensif terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pelaksanaannya,” dengan tiga fokus utama yaitu sistem keuangan negara, perekonomian nasional, dan kesejahteraan sosial. Acara tersebut berlangsung di Depok, Jawa Barat, Senin (17/11/2025).
Pada kesempatan itu Tifatul menyoroti sejumlah pasal yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Ia mencontohkan Pasal 2 Ayat 3 yang mengatur bahwa Keputusan MPR diambil dengan suara terbanyak.
“Jangan sampai majelis permusyawaratan berubah menjadi majelis per-votingan. Memang selama ini voting dilakukan, tetapi semangat permusyawaratan jangan hilang,” tegasnya.
Politisi PKS, ini juga mengkritisi Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tidak menyebutkan keberadaan desa sebagai unit pemerintahan kecil. Selain itu, Tifatul juga menyinggung keterbatasan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Pasal 22D, serta ketentuan pemberhentian presiden dan wakil presiden pada Pasal 7 yang dinilai tidak memberikan ruang pemisah proses terhadap dua pejabat tersebut.
Sementara saat membahas Pasal 23, Tifatul menegaskan fungsi APBN sebagai alat untuk memakmurkan rakyat. Ia lantas membedakan pendekatan anggaran era Jokowi dan pemerintahan saat ini.
“Di era Presiden Jokowi, banyak anggaran difokuskan untuk infrastruktur. Sedangkan saat ini pemerintah menekankan bagaimana tidak ada rakyat yang kelaparan, bagaimana semua mendapat pekerjaan. Itu yang disebut multiplier effect,” jelasnya.
Dalam pembahasan Pasal 33, Tifatul menyoroti prinsip ekonomi Indonesia yang berdasar asas kekeluargaan. Namun, ia menilai dalam praktiknya masih banyak penyimpangan. Sedangkan terkait Pasal 34, Tifatul mengingatkan pentingnya pembedaan makna fakir dan miskin. Fakir adalah mereka yang tidak memiliki apa-apa, sementara miskin memiliki sesuatu tetapi tidak mencukupi.
Turut hadir dalam diskusi tersebut, anggota Badan Pengkajian MPR RI, diantaranya Prof. Dr. Darmadi Durianto Fraksi PDI Perjuangan; K.H. Maman Imanul Haq, M.M., Fraksi PKB; H. A. Bakri, H.M, S.E.; Dr. Ir. Hj. Andi Yuliana Paris, M.Sc.; dan Sigit Purnomo, S.AP., S.H., dari Fraksi PAN; serta Dr. Lia Istifhama, S.H.I., S.So., S.Sos.I., M.E.I. dan Yance Samonsabra, S.H., M.Si., dari Kelompok DPD.
Selain itu hadir juga narasumber dari kalangan akademisi, antara lain Prof. Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan dari UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto; Dr. Dian Puji Nugraha S, S.H., M.H., dari Universitas Indonesia; dan Dr. M. Rizal Taufikurahman dari Institut Pertanian Bogor/INDEF.
Sementara itu dalam paparannya Dr. M. Rizal Taufikurahman menyebut keterkaitan antara tripilar konstitusi ekonomi dengan kondisi ekonomi Indonesia terkini. Ia menegaskan bahwa Pasal 23, Pasal 33, dan Pasal 34 merupakan fondasi utama dalam membangun keuangan negara, perekonomian nasional, dan kesejahteraan sosial.
“Setiap rupiah APBN harus diarahkan untuk kemakmuran bersama, bukan sekadar menjaga stabilitas fiskal,” ujarnya














