Ketua DPR Puan Maharani saat menerima dokumen laporan terkait RUU KUHAP dari Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman di Gedung Nusantara II, Selasa (18/11/2025). Aktual/DOK DPR RI

Jakarta, aktual.com — Usai mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan KUHAP menjadi Undang-Undang, DPR menuai kritik luas dari publik. Sorotan muncul terutama dari unggahan poster dan template story Instagram yang memuat empat poin pasal yang diklaim dapat merugikan masyarakat. Namun, sejumlah isi poster tersebut ternyata berbeda dengan ketentuan dalam draft KUHAP terbaru.

Poster yang beredar merujuk pada draft bertanggal 13 November 2025 dan menyoroti Pasal 1 ayat 34, Pasal 134, Pasal 132A, Pasal 122A, serta Pasal 5. Berikut penjelasan perbedaannya dengan draft KUHAP terbaru:

1. Pasal 1 Ayat 34 dan Pasal 134 — Isu Penyadapan

Poster menyebut pasal-pasal ini memberi kewenangan penyadapan tanpa batas. Namun dalam draft KUHAP terbaru, penyadapan dijelaskan secara eksplisit di Pasal 1 ayat 36, yang mendefinisikan penyadapan sebagai tindakan perolehan informasi yang dilakukan secara rahasia dengan berbagai metode, termasuk pemasangan alat dan perekaman, serta harus sesuai perkembangan teknologi.

Sementara itu, ketentuan operasional penyadapan diatur lebih lanjut melalui Pasal 136, yang menegaskan bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan dan pengaturannya akan ditetapkan dalam undang-undang khusus tentang penyadapan.

2. Pasal 132A — Pemblokiran Rekening hingga Jejak Digital

Poster menyebut pasal ini memberi kewenangan membekukan rekening, media sosial, hingga data digital tanpa batas. Namun dalam draft terbaru, ketentuan ini dijelaskan di Pasal 140, yang memuat persyaratan ketat:

  • Pemblokiran harus mendapat izin ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan mendesak.
  • Permohonan izin wajib berisi uraian tindak pidana, dasar relevansi objek yang diblokir, serta tujuan pemblokiran.
  • Ketua pengadilan wajib meneliti permohonan dalam waktu 2 hari.
  • Pemblokiran berlaku maksimal 1 tahun, dapat diperpanjang dua kali masing-masing 6 bulan.

Jika pengadilan menolak izin, pemblokiran harus dicabut dalam 3 hari kerja.

Jika perkara dihentikan, pemblokiran wajib dibuka kembali.

Ketentuan ini menunjukkan adanya mekanisme kontrol yudisial, berbeda dari klaim poster.

3. Pasal 122A — Penyitaan HP dan Laptop

Dalam unggahan viral, Pasal 122A dianggap memungkinkan penyitaan perangkat elektronik meski pemiliknya bukan tersangka. Namun, dalam draft KUHAP terbaru, penyitaan dijelaskan di Pasal 119, yang mengatur:

  • Sebelum penyitaan, penyidik wajib mengajukan izin kepada ketua pengadilan negeri.
  • Permohonan harus memuat informasi lengkap barang yang akan disita: jenis, jumlah, nilai, lokasi, dan alasan penyitaan.
  • Pengadilan memiliki waktu 2 hari untuk meneliti permohonan dan mengeluarkan persetujuan atau penolakan.

Dengan demikian, penyitaan tidak dapat dilakukan sembarangan, termasuk terhadap perangkat elektronik yang tidak berkaitan dengan tindak pidana.

4. Pasal 5 — Wewenang Penyelidik

Poster menyebut Pasal 5 memberi kewenangan penangkapan dan penggeledahan tanpa konfirmasi tindak pidana. Namun pada draft KUHAP terbaru, Pasal 5 mengatur dua jenis wewenang:

  • Wewenang penyelidik atas kewajibannya: menerima laporan, mengumpulkan keterangan, memeriksa identitas, dan tindakan lain yang bertanggung jawab.
  • Wewenang penyelidik atas perintah penyidik: penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penahanan, pemeriksaan surat, penyitaan, hingga membawa seseorang kepada penyidik.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, juga menegaskan bahwa setiap penggeledahan hingga penahanan tetap memerlukan izin ketua pengadilan, sehingga tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang.

Menanggapi kegaduhan tersebut, Habiburokhman memastikan bahwa isu yang beredar sebagian besar tidak tepat. Ia menjelaskan bahwa penyadapan akan diatur dalam undang-undang tersendiri, sementara seluruh tindakan pemidanaan—penyitaan, penggeledahan, hingga penahanan—tetap berada di bawah pengawasan pengadilan.