Raja Dangdut Rhoma Irama mendatangi Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk memberikan masukan terkait revisi UU Hak Cipta, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/11/2025). Foto: Taufik Akbar Harefa/Aktual.com

Jakarta, Aktual.com – Raja dangdut Rhoma Irama mendatangi Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Kamis (20/11/2025. Kedatangan Rhoma ini terkait pembahasan revisi UU Hak Cipta yang kini tengah dibahas di DPR.

Dalam pertemuan itu, Rhoma Irama turut menyoroti tingginya pajak penghasilan (Pph) royalti yang saat ini dikenakan pada para pencipta seni dan musisi, yakni sebesar 15 persen.

“Pajak 15 persen itu masih terlalu tinggi. Seni ini kan justru harus diberikan dukungan, bukan malah diberatkan,” ujar Rhoma di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Menyikapi itu, Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan mengatakan pajak bagi pelaku seni menjadi salah satu poin pembahasan dalam revisi UU Hak Cipta. Menurutnya, Baleg akan mempertimbangkan kemungkinan penurunan tarif pajak royalti.

“Pajak hasil royalti yang masuk dalam PPh 15 persen itu akan kami pertimbangkan untuk diturunkan dalam RUU ini. Dimungkinkan seperti itu,” kata Bob Hasan.

Politisi Partai Gerindra ini menegaskan, seluruh masukan akan menjadi bagian penting dalam proses harmonisasi RUU sebelum dibahas lebih jauh.

“Ini baru tahap penyusunan dan pengharmonisasian. Meaningful public participation sudah terpenuhi dengan hadirnya para narasumber, termasuk Pak Haji Rhoma,” ujarnya.

Menurutnya, kehadiran Rhoma Irama, sebagai pelaku utama industri dangdut, menjadi penting untuk memberikan masukan substantive pada pembahasan revisi UU Hak Cipta.

“Pak Haji Rhoma ini inspirasi dangdut Indonesia. Beliau hadir memberi berbagai masukan, terutama terkait hak ekonomi pencipta yang selama ini banyak terjadi dispute dan kesejahteraannya terabaikan,” katanya.

Rob menegaskan, salah satu usulan yang sedang dipertimbangkan adalah mendorong pemerintah lebih hadir dalam pengelolaan seni, termasuk memastikan pembayaran royalti dalam setiap perizinan acara.

“Misalnya dalam izin keramaian di kepolisian, harus dicatat dan diwajibkan membayar royalti sebelum izin diterbitkan. Instansi lain yang mengeluarkan perizinan juga bisa diwajibkan demikian,” ucapnya.

Kebijakan semacam itu dinilai dapat memperkuat posisi pencipta musik dan memastikan hak ekonomi mereka tidak terabaikan.

Uji Materi UU MD3 soal PAW

Sementara itu, secara terpisah Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno mengomentari langkah lima mahasiswa yang menggugat UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait mekanisme pemberhentian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI.

Gugatan tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025. Para pemohon meminta MK menafsirkan ulang Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3, yang mengatur PAW dilakukan berdasarkan usulan partai politik. Mereka menilai kewenangan tunggal partai membuat pemilih tidak memiliki kontrol terhadap wakilnya setelah pemilu.

Eddy menjelaskan, PAW anggota DPR merupakan ranah internal parpol. Karena, anggota DPR adalah kader yang diusung oleh parpol dalam pemilu.

“Kalau kita bicara wakil rakyat yang dipilih rakyat lalu diutus ke parlemen, maka ketika sudah masuk menjadi wakil rakyat, itu diatur oleh MD3. Dan MD3 itu memang memasukkan peran partai politik,” ujarnya.

Menurut Eddy, relasi antara wakil rakyat dan parpol telah diatur sebagai satu kesatuan dalam sistem politik Indonesia. Karena itu, mekanisme PAW tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari kewenangan partai.

Meski demikian, Eddy menambahkan, masyarakat tetap dapat mengevaluasi kinerja anggota DPR, meskipun mekanisme PAW berada di tangan parpol. Evaluasi publik, kata dia, paling nyata saat pemilihan legislatif berikutnya.

“Masyarakat bisa menilai apakah selama menjabat anggota DPR itu bekerja dengan baik, memenuhi janji, dan mengurus konstituennya. Dari situ masyarakat menentukan apakah akan memilih kembali atau tidak,” tambahnya.

Ia juga menyebut kanal partai politik tetap terbuka bagi masyarakat yang ingin menyampaikan keberatan terhadap kinerja anggota DPR. “Partai bisa melakukan evaluasi, apakah perlu meninjau ulang keberadaannya di DPR atau tidak,” katanya.

Laporan: Taufik Akbar Harefa

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi