Ilustrasi peta dasar geospasial wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Foto: Badan Informasi Geospasial

Jakarta, Aktual.com – Empat perusahaan asal China berbondong-bondong mengikuti tender penyediaan data dasar geospasial (basic geospatial data) dan peta dasar (base maps) wilayah urban dan non-urban seluruh Indonesia di Badan Informasi Geospasial (BIG).

Keempat korporasi itu antara lain, PT Shaanxi Tirain Science & Technology Co.Ltd, PT Beijing ZKYS Remote Sensing Information Technology Co.Ltd, PT KQ Geo Technologies Co.Ltd, dan Asia Air Survey Co., L.td.

Menyikapi ini, pengamat politik kebijakan publik Uchok Sky Khadafi mewanti-wanti ada risiko serius terhadap kepentingan nasional, keamanan negara, dan kedaulatan data geospasial Indonesia bila salah satu dari empat perusahaan China tersebut memenangkan tender.

“Tender ini jangan diserahkan ke vendor asing. Jangan sampai mereka mengerjakan pemetaan langsung di lapangan,” papar Direktur Eksekutif Center For Budget Analysis (CBA) ini, kepada Aktual.com.

Hal ini, katanya, untuk menghindari pengambilan data tanpa kontrol penuh dari BIG, data transfer lintas server yang bocor, dan backdoor access, atau penanaman kode pengumpul metadata di Sistem Informasi Geografis (GIS).

Pasalnya, ucap Uchok, korporasi asal China biasanya memakai sistem pemetaan berbasis perangkat lunak buatan mereka, seperti SuperMap, TianDiTu, atau sistem koordinat nasional CGCS2000. Mereka pun kerap menggunakan server cloud non-lokal, seperti Tencent Cloud, Huawei Cloud, Alibaba Cloud.

“Ini sangat berbahaya karena data raw imagery (foto udara, lidar, DEM) bisa tersalin otomatis ke pusat server mereka tanpa terlihat oleh pengguna lokal. Selain itu, algoritma internal mereka bisa mengenali pola spasial kita, seperti jalur militer, tambang strategis, sumber energi, dan aset vital lainya,” ujarnya.

Menurutnya, dalam konteks kepentingan dan kedaulatan Indonesia, informasi tersebut sangat penting karena mencakup data area dengan nilai ekonomi dan strategis nasional yang sangat besar.

Kaji Ulang Tender

Senada, Pengamat geopolitik Hendrajit menilai proyek besar BIG yang dalam proses tender sejak Juli 2025 ini harus dikaji dengan sangat hati-hati. Menurutnya, pemerintah harus waspada walaupun perusahaan China yang ikut tender tersebut melakukan joint venture (JV) dengan korporasi lokal.

Hendrajit menegaskan data geospasial dan peta wilayah bukan sekadar pengetahuan, tetapi juga kekuatan. Karena itu, pengelolaan data spasial harus dilihat dalam konteks geopolitik, bukan hanya aspek ekonomi atau teknologi.

Apalagi, sejarah membuktikan bahwa peta adalah alat kekuasaan. Ia menceritakan bagaimana Belanda, dan VOC menaklukkan Nusantara karena lebih dulu memahami letak geografis dan sumber daya negeri ini lewat pemetaan rinci.

“Jan Pieterszoon Coen dulu menaklukkan Sunda Kelapa bukan karena kekuatan militernya, tapi karena dia tahu persis posisi strategis pelabuhan itu lewat peta. Sekarang, kekuasaan itu bentuknya digital – data spasial. Kalau data itu jatuh ke tangan asing, sama saja kita membuka semua rahasia rumah kita sendiri,” tutur Hendrajit.

Karena itu, menurut Hendrajit, proyek semacam ini tidak bisa dilihat semata sebagai urusan teknis pemetaan. Peta, katanya, bukan sekadar gambar wilayah. Di dalamnya ada informasi tentang tambang, energi, jalur strategis, sampai aset militer.

“Jadi kalau yang memetakan adalah pihak asing, apalagi punya afiliasi dengan negara besar seperti Tiongkok, ini langsung menyentuh soal kedaulatan,” ujarnya.

Hendrajit mengungkapkan, ada potensi kebocoran spasial strategis, seperti lokasi mineral, PLTA, fasilitas militer, bila proyek ini dikerjakan oleh vendor asing. Selain itu, pihak asing juga bisa melakukan pemantauan jarak jauh terhadap informasi geospasial dan peta wilayah Indonesia, melalui update sistem cloud atau telemetry.

“Indonesia juga akan mengalami ketergantungan teknologi, di mana setiap pembaruan peta bergantung vendor luar. Dengan kata lain, walaupun proyeknya “sipil”, fungsi duplikatif intelijen tetap mungkin terjadi, mirip kasus kebocoran data infrastruktur di Afrika oleh vendor asing,” ungkapnya.

Hendrajit pun menyarankan agar BIG meninjau ulang proses tender tersebut dengan melibatkan berbagai elemen strategis bangsa, bukan hanya kalangan teknokrat. Menurutnya, proyek sebesar ini semestinya juga memprioritaskan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar tidak sepenuhnya bergantung pada pihak asing.

“Ya ditinjau ulang, terus diberi kesempatan kepada berbagai elemen strategis bangsa untuk ikut membahas itu,” ujarnya.

Apalagi, Hendrajit menduga, adanya “pesanan” dari tokoh tertentu agar proyek ini dikerjakan oleh korporsai dari China. “Banyak titipan dan sebagainya itu dalam kepentingan oligarki,” ujarnya.

Hendrajit mengingatkan kasus Indosat dan Whoosh, di mana kepentingan asing dan oligarki yang mendapat untung namun merugikan Indonesia.

“Indosat dilego ke Singapura melalui PT Temasek Holding. Saat itu, informasi strategis negara terbuka kepada pihak asing. Whoosh yang katanya B to B, praktiknya justru melibatkan dana APBN dan utangnya harus ditanggung Pemerintah,” ungkapnya.

Proyek Rp4 Triliun

Diketahui, BIG tengah melakukan proses tender sebuah proyek penting dan strategis nasional sejak Juli, 2025 lalu, yakni penyediaan data dasar Geospasial dan Peta Dasar Wilayah seluruh Indonesia.

Proyek pertama, pengumpulan data spasial wilayah urban yang terdiri dari 4 paket pekerjaan meliputi wilayah Kalimantan- Yogyakarta (lot I), Sumatera (lot 2), Jawa (lot 3) Jawa Timur, Bali, Maluku dan Papua (lot 4).

Proyek kedua, yakni pengumpulan data spasial dan peta wilayah non urban yang terdiri dari 7 paket pekerjaan. Meliputi Kalimantan (lot 1),  Sumatera (lot 2), Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua 1 (lot 3), Papua 2 (lot 4), Sulawesi (lot 5), quality control and mapping production (lot 6) dan project management consulting for ILAPS (lot 7).

Proyek ini merupakan bagian dari paket yang lebih besar dari Integrated Land Administration and Spatial Planning Project (ILASP) dengan kode P180860. Target utamanya, produksi data geospasial skala besar (large-scale) dan base maps untuk wilayah urban dan non-urban.

Proyek ini merupakan bagian dari program pinjaman lunak (soft loan) Bank Dunia dengan anggaran mencapai 238 juta dolar AS, sekitar Rp4 triliun dengan kurs Rp16.500.

Dari kedua proyek tersebut ada 8 perusahaan yang lolos persyaratan dan kualifikasi untuk memenangkan tender tersebut. 8 perusahaan itu antara lain

Pertama, PT Raya Konsult JV, PT Kwarsa Hexagon, dan PT Hilmy Anugerah. Kedua, PT Wolpert JV Map Tiga Internasional. Ketiga, PT Intermap Technologies Corporation. Keempat, PT Exsa Internasional JV Asia Air Survey Co., L.td. Kelima, PT KQ Geo Technologies Co.Ltd, JV dan PT Phibetha Kalamwijaya (PKW). Keenam, PT Buana Multi Techindo. Ketujuh, PT Shaanxi Tirain Science & Technology Co.Ltd. Kedelapan, PT Beijing ZKYS Remote Sensing Information Technology Co.Ltd, (Honeycomb Aerospace Technologies (Beijing) Co., Ltd, dan PT Earth View Image Inc.

Proyek ILASP bukan hanya proyek infrastruktur data, melainkan proyek peradaban. Ketika seluruh permukaan bumi Indonesia dipetakan ulang dalam skala besar, maka untuk pertama kalinya negara ini akan memiliki peta dasar nasional digital yang presisi.

Namun, seperti dua sisi mata uang, ambisi besar itu membawa risiko besar pula. Keterlibatan perusahaan asing terlebih dari negara dengan kepentingan geopolitik kuat seperti Tiongkok menempatkan Indonesia pada persimpangan antara modernisasi dan kedaulatan.

Laporan: Taufik Akbar Harefa dan Achmat

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi