Jakarta, aktual.com – Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (PERADI SAI), Harry Ponto, menilai pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai terobosan penting bagi dunia hukum di Indonesia.
Sejumlah poin yang ia soroti adalah hak advokat mengakses rekaman kamera pengawas (CCTV) untuk kepentingan pembelaan, dan pernyataan keberatan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bila kliennya merasa terintimidasi.
“Sekarang dalam kerangka kepentingan pembelaan, advokat berhak mendapatkan rekaman CCTV. Ini langkah maju yang luar biasa,” ujar Harry usai menghadiri rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Harry menyampaikan, pembaruan KUHAP juga mengatur agar advokat bisa menyatakan keberatan bila kliennya merasa terintimidasi dalam pemeriksaan oleh penyidik. “Advokat kini bisa aktif menyatakan keberatan jika klien diintimidasi atau diberi pertanyaan yang mengarahkan, dan keberatan itu wajib dicatat dalam BAP,” tambahnya.
Selain itu, pembaruan KUHAP pun memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi advokat. Advokat kini diakui sebagai salah satu penegak hukum dan memperoleh hal imunitas. “Sehingga tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana saat menjalankan profesinya sepanjang beritikad baik dan mengikuti kode etik,” paparnya.
Harry menilai langkah Komisi III DPR RI untuk memperbarui KUHAP sangat berani, meski masih ada beberapa kekurangan. Ia menekankan, regulasi baru ini mendorong profesionalisme polisi, jaksa, dan advokat sekaligus.
“Ini membuat polisi lebih profesional, jaksa lebih profesional, advokat pun harus lebih profesional. Advokatlah yang mengontrol. Semua pihak harus mulai berbenah supaya penegakan hukum berjalan lebih baik,” tutup Harry.
Meski demikian, implementasi aturan di pembaruan KUHAP, katanya, bergantung pada konsistensi aparat penegak hukum di lapangan untuk mematuhinya.
Presiden Diminta Tunda Pengesahan Pembaruan KUHAP
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menunda pengesahan UU tersebut melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU). Koalisi menilai pembaruan KUHAP memuat banyak ketentuan yang bermasalah.
“Proses pembahasan dan substansi bermasalah ini sejak awal telah diperingatkan oleh akademisi, mahasiswa, masyarakat sipil, organisasi bantuan hukum, dan banyak pihak lainnya. Alih-alih memperbaiki kritik tersebut, pemerintah justru memaksa KUHAP baru diberlakukan serentak dengan KUHP pada 2 Januari 2026. Meskipun proses sosialisasinya sangat sempit dan seluruh perangkat implementasinya belum disiapkan sama sekali,” kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, Sabtu (22/11/2025).
Koalisi mengingatkan, KUHP dan KUHAP tanpa fondasi merupakan jalan menuju bencana hukum pidana. Kegentingan regulasi semakin terlihat ketika jarak antara pengesahan dan pemberlakuan kurang dari dua bulan dan dipotong libur akhir tahun.
KUHAP yang baru disahkan mewajibkan hadirnya setidaknya 25 Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden, 1 Peraturan Mahkamah Agung, dan 1 Undang-Undang sebagai aturan pelaksana. Bahkan, UU yang dimaksud adalah regulasi mengenai upaya paksa penyadapan yang rentan disalahgunakan.
Aturan-aturan pelaksana tersebut berfungsi menjabarkan ketentuan umum dalam KUHAP agar dapat diterapkan secara teknis dan operasional. Tanpa PP, Perpres, Perma, dan UU sebagai pedoman pelaksana, norma-norma KUHAP akan menjadi kabur dan membuka ruang penyimpangan dalam setiap tahap proses peradilan.
“Dengan waktu sesingkat itu, apakah mungkin dilakukan sosialisasi terhadap seluruh aparat penegak hukum di Indonesia? Dalam hitungan minggu, aparat akan ‘dipaksa’ bekerja di tengah tumpang tindih aturan, kekosongan mekanisme, dan konflik interpretasi. Ketidakpastian hukum semacam ini bukan sekadar persoalan administratif dan tidak sederhana mitigasinya, melainkan secara langsung mengancam perlindungan hak-hak warga negara ketika berhadapan dengan hukum,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, KUHP yang disahkan pada 2023 dan dijadwalkan berlaku pada 2026 diberi masa transisi tiga tahun penuh. Dalam periode tersebut, pemerintah memiliki mandat menyusun enam PP sebagai aturan pelaksana yang kemudian dikerucutkan menjadi tiga PP.
Namun hingga hari ini, tidak satu pun rancangan PP tersebut berhasil disahkan. Bahkan pemerintah sendiri mengemukakan bahwa terdapat sedikitnya 52 poin revisi dan koreksi terhadap KUHP dalam RUU Penyesuaian Pidana yang sampai saat ini belum dibahas oleh pemerintah dan DPR.
“Tanpa PP, tanpa aturan pelaksana lainnya (Perpres, Perma, dan UU), sosialisasi kurang dari empat minggu, tanpa kesiapan institusi, dan tanpa kepastian hukum. Memaksakan pemberlakuan KUHP dan KUHAP baru secara bersamaan tanpa memastikan kesiapan perangkat regulasi dan kapasitas pelaksana lapangan merupakan tindakan ekstrem yang destruktif bagi perkembangan hukum di Indonesia. Aparat di lapangan akan menghadapi kekosongan pedoman dan kesenjangan pemahaman,” pungkasnya.
Implementasi KUHP pada 2026
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan, pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) secara nasional pada Januari 2026 nanti tidak akan membuka ruang kriminalisasi.
Menurutnya, seluruh pasal dalam KUHP telah dilengkapi penjelasan dan anotasi yang menjadi acuan bagi penyidik dan jaksa.
“Kalau kita lihat di dalam KUHP itu, setiap pengaturan hukum materil disertai dengan penjelasan. Bahkan kami memuat anotasi. Itu memberikan guidance kepada penyidik dan penuntut umum tentang maksud pembentuk undang-undang,” ujar Eddy, usai rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (24/11/2025).
Hal ini ia sampaikan merespons kekhawatiran publik, terutama dari kelompok masyarakat sipil, yang menilai implementasi KUHP berpotensi disalahgunakan aparat penegak hukum.
Menurutnya, keberadaan anotasi tersebut menjadi mekanisme pencegah penyimpangan dalam penegakan hukum. “Justru untuk mencegah jangan sampai terjadi kriminalisasi,” tegasnya.
Eddy juga memastikan, seluruh aturan turunan KUHP telah diselesaikan pemerintah, sehingga tidak ada kekosongan hukum saat KUHP mulai berlaku awal tahun depan.
“Ada tiga peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan tentang hukum yang hidup dalam masyarakat, pemidanaan termasuk tindakan, serta komutasi pidana. Semua sudah selesai,” katanya.
Ia menilai kekhawatiran sebagian kelompok terjadi karena asumsi bahwa KUHP baru akan berjalan tanpa regulasi pelaksana yang memadai. “Tapi itu tidak benar. Semuanya sudah tersedia,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah dan DPR tengah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Pidana, yang bertujuan menyelaraskan berbagai undang-undang dan ribuan peraturan daerah dengan KUHP.
Laporan: Taufik Akbar Harefa
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















