Jakarta, Aktual.com – Rencana pemerintah mengubah sistem rujukan JKN menjadi berbasis kompetensi pada 2026 mendapat kritik keras anggota Komisi IX, Edy Wuryanto. Ia mengingatkan transformasi besar di sektor kesehatan tidak boleh mengorbankan rumah sakit daerah, maupun menambah beban masyarakat.
Ia menilai pemerintah terlalu fokus pada perubahan alur, tetapi belum menyentuh persoalan mendasar ketimpangan layanan kesehatan di daerah.
“Jangan hanya mengubah alur. Perbaiki alat kesehatan dan kualitas tenaga kesehatan di rumah sakit yang selama ini bertipe C dan D,” tegas politisi PDI Perjuangan tersebut melalui keterangan tertulis, Selasa (25/11/2025).
Edy menilai rencana rujukan berbasis kompetensi justru berpotensi menumpuk pasien di rumah sakit besar, jika pemerintah tidak menyiapkan kapasitas memadai. Ia menegaskan bahwa kewajiban menyediakan layanan layak adalah mandat konstitusi—bukan pilihan politik pemerintah.
“Negara tidak boleh lepas tangan. Pemerintah harus bantu rumah sakit daerah meningkatkan kompetensi, misalnya lewat pinjaman lunak berbunga 2 atau 3 persen atau insentif pajak untuk alat kesehatan,” ujarnya.
Di tingkat primer, Edy menyebut FKTP masih minim informasi mengenai kapasitas rumah sakit tujuan. “Banyak puskesmas tidak tahu kuota layanan rawat jalan, jadwal dokter spesialis, atau ketersediaan IGD dan ICU. Pasien akhirnya ditolak karena kuota penuh,” katanya.
Kondisi itu, menurutnya, membuat masyarakat membayar lebih mahal di luar biaya pengobatan yang seharusnya ditanggung negara. Ia pun mengkritik praktik rujukan antarrumah sakit yang sering membebani keluarga pasien.
“Setiap RS mitra BPJS Kesehatan seharusnya punya desk pengaduan yang benar-benar bekerja membantu mencarikan RS tujuan,” ujar Edy.
Ia menilai pemerintah dapat menggunakan teknologi untuk menghentikan pola rujukan yang melempar tanggung jawab.Terkait klaim pemerintah bahwa sistem baru akan mempercepat proses rujukan, Edy menegaskan akar masalah berada pada ketidaksinkronan sistem digital BPJS sedangkan dengan manajemen internal RS.
“Ada pasien dapat slot jam 10 dari aplikasi, tapi tetap menunggu panjang karena poli tidak menyesuaikan. Kalau begini, digitalisasi hanya jadi etalase,” ungkapnya.
Atas dasar itu ia memastikan DPR akan mengawal transformasi rujukan JKN agar tidak berhenti pada jargon kompetensi. “Esensi reformasi adalah memastikan pasien tidak tersesat, tidak dipingpong, dan tidak mengeluarkan biaya yang seharusnya ditanggung negara. Itu ukuran sederhana keberpihakan,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















