Jakarta, aktual.com – Pemuda Bekasi berusia 30 tahun, Wawan Hermawan yang diduga melanggar Pasal 35 Juncto Pasal 51 UU ITE, Pasal 32 Juncto Pasal 48 UU ITE, Pasal 28 ayat (3) Juncto 45A ayat (3) UU ITE dan Pasal 160 KUHP terkait dugaan menshare postingan di instagram, mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap proses penetapan Tersangka dirinya. Permohonan praperadilan diajukan tanggal 30 Oktober 2025, dan teregister dengan nomor perkara Nomor 144//Pid.Pra/2025/PN.Jkt.Sel.
Wawan Hermawan sendiri ditangkap tanggal 28 Agustus 2025, berdasarkan Laporan Polisi tanggal 27 Agustus 2025. Dengan kata lain, Wawan Hermawan ditangkap hanya sehari setelah Laporan Polisi diajukan ke Polda Metro Jaya. Karena waktu yang sangat singkat, patut diduga proses penetapan Tersangka terhadap Wawan Hermawan tidak memenuhi standar minimal dua alat bukti yang sah, sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU–XII/2014, tanggal 28 April 2015 tentang dua alat bukti.
Setelah beberapa kali persidangan, Rabu (19/11), Hakim Tunggal yang mengadili perkara menjatuhkan vonis “Permohonan Praperadilan Gugur”.
Putusan lebih cepat dari rencana pengucapan putusan pada Jumat, tanggal 21 November 2025. Muhammad Ali Fernandez, Penasihat Hukum Wawan Hermawan, sangat menyesalkan putusan ini. Karena menurutnya dalam proses pembuktian, Polda Metro Jaya tidak pernah mengajukan satu pun alat bukti ke muka persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu Keterangan Saksi, Ahli ataupun Surat.
“Kami keberatan sebetulnya jika perkara ini di gugurkan, karena sesungguhnya sidang pokok perkara Wawan Hermawan belum dimulai. Jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya sidang dilanjutkan pada pembacaan putusan akhir. Karena Putusan Nomor 102/PUU-XIII/2015, menyatakan gugurnya permohonan praperadilan ketika perkara pokok telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama,” ujar Muhammad Ali Fernandez.
Polda Metro Jaya, mengajukan bukti adanya Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai sidang perkara pokok. Hakim Tunggal yang mengadili perkara lebih memilih berpegang bukti yang diajukan Polda Metro Jaya dan SEMA No. 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021, sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan, yang pada intinya menyatakan “dalam perkara pidana, sejak berkas perkara dilimpahkan dan diterima oleh Pengadilan serta merta menggugurkan pemeriksaan praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP”.
Putusan ini menjadi paradoks, karena terjadi sehari setelah pengundangan KUHAP yang baru. Di satu sisi Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan Pasal 82 ayat (1) huruf d, menyatakan putusan praperadilan gugur ketika perkara dilimpahkan dan sidang pertama dilakukan.
Dilain sisi, Mahkamah Agung secara ketat menyatakan jika perkara telah dilimpahkan dan diterima Pengadilan Negeri maka permohonan praperadilan gugur, tanpa harus menunggu adanya sidang pertama. Padahal KUHAP yang baru memberikan ketentuan tegas dengan tidak memperkenankan pemeriksaan pokok perkara selama proses praperadilan belum selesai. Pasal 163 ayat (1) huruf c dan e KUHAP menyatakan “selama pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka pemeriksaan pokok perkara di pengadilan tidak dapat diselenggarakan”.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















