Jakarta, aktual.com – Wakil Direktur Sekolah Negarawan, Rinto Setiawan, menilai bahwa selama lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia berjalan dalam kondisi yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang diklaim negara. Ia menegaskan bahwa, “Selama lebih dari tujuh dekade, bangsa ini hidup dalam paradoks Indonesia mengaku sebagai negara demokrasi, namun rakyat justru ditempatkan sebagai objek, bukan subjek kekuasaan,” Kamis (27/11).
Rinto juga menyoroti bagaimana struktur kekuasaan yang ada justru memusat pada satu titik, serta lemahnya fungsi perwakilan rakyat. “Negara sering berdiri sebagai penguasa, bukan pelayan. Kekuasaan terpusat pada satu figur eksekutif, sementara sistem perwakilan tersandera oleh kepentingan politik dan oligarki,” katanya.
Ia menilai keadaan ini berlawanan dengan semangat konstitusi maupun visi para pendiri bangsa. Kesadaran tersebut, menurutnya, menjadi landasan lahirnya gerakan Sekolah Negarawan. “Kesadaran inilah yang melahirkan Sekolah Negarawan, sebuah gerakan intelektual dan pusat pemikiran kenegaraan yang,” ucapnya.

Sebagai respons atas kondisi tersebut, Sekolah Negarawan menawarkan rancangan ulang ketatanegaraan berbasis tiga fondasi utama. Salah satu pilar penting adalah penguatan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat. “MPR tidak lagi sekadar simbol, tetapi benar-benar menjadi rumah rakyat, tempat seluruh unsur bangsa terwakili melalui perwakilan daerah, etnis, profesi, budaya, intelektual, agama, hingga unsur pertahanan-keamanan,” tuturnya.
Selain itu, konsep reposisi presiden juga menjadi bagian krusial dalam rancangan tersebut. “Presiden tidak ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, melainkan sebagai pegawai rakyat, atau dalam istilah Sekolah Negarawan: TKI-1 (Tenaga Kerja Indonesia Nomor Satu). Ia menjalankan pemerintahan, tetapi harus mempertanggungjawabkannya kepada MPR dan rakyat,” katanya.
Rinto menambahkan bahwa tata kelola negara tidak cukup jika hanya dibangun dengan kerangka rasional dan administratif. “Negara Berbasis Moral dan Budaya negara tidak hanya ditata secara rasional dan manajerial, tetapi juga secara spiritual dan kultural. Karena itu, struktur ketatanegaraan dalam rancangan ini memasukkan unsur moral, intelektual, budaya, hingga spiritual sebagai pilar keseimbangan kekuasaan,” ungkapnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















