Jakarta, Aktual.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan tengah mengevaluasi kemungkinan penambahan indikator baru dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) untuk memperkuat pemetaan kondisi keuangan masyarakat. Evaluasi ini dilakukan seiring meningkatnya urgensi konsep financial health dalam agenda kebijakan global.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa pemahaman dunia internasional mengenai inklusi keuangan telah mengalami perubahan signifikan dalam 15 tahun terakhir.
“Konsep ini sendiri juga mengalami satu pemahaman kepentingan yang jauh lebih strategis daripada sebelumnya,” tegasnya saat ditemui dalam konferensi pers bersama Queen Máxima di Rumah Imam Bonjol, Jakarta, Kamis (27/11/2025).
Mahendra menyampaikan bahwa arsitektur sektor jasa keuangan melalui Undang-Undang P2SK 2023 sebenarnya telah memiliki unsur-unsur lengkap untuk mendukung peningkatan kesejahteraan finansial. Ia menambahkan bahwa dasar regulasi tersebut menjadi acuan penting agar penambahan indikator dalam SNLKI tetap konsisten dengan kerangka yang ada.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa penguatan survei tidak hanya mengandalkan peran OJK, tetapi juga memerlukan sinergi pemerintah, Bank Indonesia, dan industri jasa keuangan. Ia menekankan bahwa kontribusi industri memegang peranan kunci dalam menyediakan produk yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Kepala Eksekutif Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyebut SNLKI saat ini menggunakan parameter OECD dan dilakukan melalui survei BPS dengan ukuran sampel yang sangat besar. Ia menegaskan bahwa “lima hal itu ditanyakan… knowledge, skill, confidence, attitude, dan behavior,” namun membuka peluang adanya penambahan indikator baru jika standar internasional bergerak ke arah pengukuran financial health.
Friderica juga menyampaikan bahwa Presiden memberikan apresiasi atas arah pengembangan indikator kesejahteraan finansial dalam survei nasional. Ia menambahkan bahwa pemerintah mendukung langkah OJK untuk menindaklanjuti peluang tersebut melalui kerja sama yang lebih intensif.
Terkait wacana memasukkan ukuran over-indebtedness, Mahendra menyatakan bahwa OJK tengah mendalami opsi metodologi yang valid agar dapat diterapkan. Ia menjelaskan bahwa “kita bisa melihat juga elemen-elemen yang lebih jika indikator tersebut dapat dirumuskan secara tepat dalam kuesioner.”
Selain itu, menanggapi isu rendahnya kesadaran dana pensiun dan tingginya porsi pendapatan pekerja yang habis untuk cicilan, Mahendra menilai perlunya inovasi produk yang lebih inklusif. “Harus ada inovasi pengembangan produk yang cocok bagi berbagai kelompok masyarakat,” ujar Mahendra.
(Nur Aida Nasution)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















