Rinto Setiyawan, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)

Oleh: Rinto Setiyawan*

BELAKANGAN ini beredar tulisan berjudul “Hakim Pajak: Keahlian Generalis atau Spesialis?” yang ditulis oleh Hakim Pengadilan Pajak, Dudi Wahyudi. Di sana ia mengibaratkan pengadilan pajak sebagai ‘ruang operasi jantung’, dan hakim pajak sebagai ‘dokter spesialis jantung’ yang sangat teknis dan sangat diperlukan.

Sekilas, analogi itu tampak indah dan meyakinkan. Siapa yang tidak ingin ditangani oleh ‘dokter spesialis’ ketika berhadapan dengan sengketa pajak yang rumit?

Namun, kalau kita tarik napas sebentar dan menelaah lebih dalam, justru di titik itulah masalah serius muncul.

Dokter Spesialis Tanpa Dokter Umum?

Dalam dunia kesehatan, jalannya jelas dan tak bisa ditawar:
untuk menjadi dokter spesialis jantung, seseorang harus lulus dulu sebagai dokter umum, menjalani pendidikan kedokteran, koas, uji kompetensi, lalu barulah mengambil pendidikan spesialis.

Kalau ada orang yang mengaku dokter spesialis, tetapi bahkan tidak pernah lulus dokter umum, publik akan menyebutnya dokter gadungan atau dokter ilegal. Tidak ada kompromi di sini, karena yang dipertaruhkan adalah nyawa manusia.

Nah, dalam tulisan tersebut, penulis justru membenarkan desain hukum kita yang memungkinkan hakim pengadilan pajak diisi bukan hanya oleh sarjana hukum, tetapi juga sarjana lain yang penting dianggap menguasai akuntansi dan perpajakan.

Artinya, dalam versi analogi tadi, kita diminta percaya bahwa: ‘dokter spesialis jantung’ boleh bukan dokter,
asalkan pintar membaca hasil EKG dan laporan lab.

Di sinilah saya berbeda pandangan secara mendasar.
Untuk saya, ini bukan sekadar variasi desain kelembagaan, melainkan potensi kesesatan logika yang berbahaya bagi kepastian hukum dan hak-hak wajib pajak.

Hakim Bukan Sekadar Ahli Teknis

Tidak ada yang menyangkal bahwa sengketa pajak itu rumit: ada transfer pricing, nilai pabean, metode arm’s length, dan berbagai istilah teknis lain. Kita setuju, dunia pajak membutuhkan orang-orang yang paham detail teknis.

Tetapi harus diingat, tugas hakim berbeda dengan tugas auditor atau konsultan pajak.

Hakim, di peradilan umum, agama, TUN, militer, maupun pajak – pada dasarnya adalah:

  • penafsir undang-undang,
  • penjaga hak konstitusional warga negara,
  • pengambil keputusan terakhir yang bisa mengurangi harta, membatasi kebebasan, bahkan menentukan hidup suatu usaha.

Untuk pekerjaan seperti itu, fondasi utama seharusnya adalah ilmu hukum dan etika kehakiman, bukan semata-mata kemampuan membaca laporan keuangan.

Keahlian teknis pajak, akuntansi, dan ekonomi tetap sangat penting, tetapi idealnya hadir melalui:

  • ahli yang dihadirkan di persidangan,
  • atau anggota majelis non-hakim yang memberi pandangan teknis,

Bukan menggantikan syarat dasar bahwa hakim adalah ‘dokter umum’ di bidang hukum.

Dualisme Atap: Hakim Yudikatif atau Bawahan Fiskus?

Masalah lain yang luput diperjelas dalam narasi ‘spesialis pajak’ adalah soal posisi kelembagaan Pengadilan Pajak itu sendiri.

Selama bertahun-tahun, pengadilan ini hidup dalam kondisi dua atap:

  1. Secara fungsi yudisial, ia disebut berada di bawah Mahkamah Agung.
  2. Tetapi secara organisasi, administrasi, keuangan, dan sejarah rekrutmen SDM, ia sangat dekat dengan Kementerian Keuangan, rumah besar otoritas pajak yang menjadi ‘lawan tanding’ wajib pajak di ruang sidang.

Bukan rahasia bahwa mayoritas hakim pajak berasal dari kultur DJP dan Bea Cukai. Di atas kertas, ini dipuji sebagai keunggulan: mereka dianggap sangat paham teknis pajak. Di lapangan, hal ini menimbulkan pertanyaan wajar di kalangan wajib pajak:

“Apakah saya benar-benar diadili oleh hakim yang netral,
atau oleh mantan pejabat dari institusi yang sedang saya gugat?”

Mahkamah Konstitusi sendiri sudah menegur desain ini dan memerintahkan agar pembinaan Pengadilan Pajak dipindahkan sepenuhnya ke Mahkamah Agung. Artinya, kegelisahan publik soal konflik kepentingan bukan sekadar ‘persepsi’, tetapi problem serius yang diakui di level konstitusional.

Di titik ini, berbicara tentang ‘hakim pajak sebagai spesialis jantung’ tanpa menyentuh dualisme atap dan latar rekrutmen adalah seperti membicarakan sterilitas ruang operasi sambil menutup mata bahwa airnya masih diambil dari sungai tercemar.

Ketika ‘Keahlian Khusus’ Menjadi Alasan Mengurangi Syarat Hukum

Salah satu bagian paling krusial dari opini yang ingin saya tanggapi adalah pembenaran bahwa hakim pajak boleh bukan sarjana hukum, karena:

  • sengketanya sangat teknis,
  • dan keahlian teknis itulah yang dianggap lebih menentukan.

Bagi saya, logika ini berbahaya karena:

  1. Menggeser standar profesi hakim.
    Di semua lingkungan peradilan lain, hakim dipersiapkan melalui jalur pendidikan dan profesi hukum yang panjang. Di pengadilan pajak, standar ini dilonggarkan atas nama “kekhususan”.
  2. Membuka ruang bias cara berpikir.
    Kalau seseorang tumbuh dan berkarier puluhan tahun sebagai fiskus, lalu langsung duduk sebagai hakim, risiko membawa kacamata lama ke kursi baru itu sangat besar. Tanpa pondasi yuris yang kuat, sulit diharapkan ia spontan berubah menjadi “penjaga hak wajib pajak”.
  3. Merusak pesan keadilan.
    Sulit menjelaskan kepada publik mengapa untuk memutus sengketa yang menyangkut hak milik warga negara, negara justru rela melonggarkan syarat keilmuan hukum bagi orang yang memegang palu.

Padahal, kalau analogi dokter benar-benar kita pegang, jalan keluar yang logis justru sebaliknya:

  • semua calon hakim pajak wajib menempuh jalur “dokter umum” hukum terlebih dahulu,
  • barulah kemudian mengambil spesialisasi pajak yang ketat, panjang, dan terukur.

Reformasi: Hakim Pajak Harus “Dokter Hukum Spesialis Pajak”

Kita tentu tidak ingin membuang begitu saja semua keahlian teknis yang telah dimiliki hakim pajak hari ini. Justru sebaliknya, Indonesia sangat membutuhkan hakim yang menguasai hukum dan mengerti detil dunia pajak.

Karena itu, arah reformasi yang menurut saya lebih sehat adalah:

  1. Mengakui hakim pajak sebagai hakim penuh, dengan syarat dasar pendidikan hukum dan integritas yudisial yang sama ketatnya dengan hakim di lingkungan peradilan lain.
  2. Menjadikan perpajakan sebagai spesialisasi, bukan pengganti hukum. Pendidikan dan sertifikasi pajak hadir di atas fondasi hukum, bukan berdiri menggantikan fondasi itu.
  3. Mendorong rekrutmen yang lebih beragam, tetapi tetap berfondasi hukum. Mantan fiskus, akuntan, dan ekonom tetap bisa berperan besar sebagai ahli, konsultan legislatif, atau hakim ad hoc yang sudah terlebih dahulu menempuh jalur hukum yang benar.
  4. Menuntaskan peralihan Pengadilan Pajak ke satu atap Mahkamah Agung, sehingga tidak ada lagi keraguan apakah hakim pajak adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, atau masih ‘numpang kantor’ di eksekutif yang menjadi pihak berperkara.

Dengan begitu, analogi dokter tadi justru menemukan tempatnya yang tepat: Hakim pajak adalah ‘dokter hukum’ yang kemudian menjadi spesialis pajak, bukan sebaliknya.

Menjaga Kepercayaan Wajib Pajak

Pada akhirnya, sengketa pajak bukan sekadar soal angka di atas kertas. Di balik setiap perkara ada:

  • usaha yang bisa tutup karena salah hitung,
  • keluarga yang bisa kehilangan aset karena putusan,
  • bahkan rasa percaya atau tidak percaya rakyat terhadap negara.

Jika persidangan pajak ingin dipandang sebagai ‘ruang operasi jantung’ keadilan fiskal, maka yang pertama harus dijaga adalah kepercayaan pasiennya: para wajib pajak.

Kepercayaan itu tidak lahir dari slogan bahwa hakim pajak adalah ‘spesialis’. Kepercayaan lahir ketika publik melihat:

  • fondasi hukumnya kuat,
  • kedudukannya benar-benar independen dari fiskus,
  • dan keahliannya digunakan untuk melindungi hak sekaligus menegakkan kewajiban.

Karena itu, ketika ada gagasan yang menganggap keahlian teknis pajak boleh menggantikan syarat dasar keilmuan hukum, saya merasa perlu menyampaikan penolakan secara terbuka.

Bukan untuk menyerang pribadi siapa pun, tetapi untuk mengingatkan: di atas segala kekhususan, hakim tetaplah penjaga keadilan. Dan keadilan yang kokoh hanya bisa berdiri di atas fondasi hukum yang kokoh pula.

*Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)