Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)
Jakarta, aktual.com – Polemik soal dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali memanas. Trio pengusung isu ini—Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dr. Tifa—yang populer dengan sebutan RRT, tampak begitu aktif berkeliling mencari jawaban. Mereka mendatangi UGM, KPU Surakarta, KPU Pusat, Komisi Informasi Publik, hingga membuka forum-forum diskusi daring.
Upaya itu tentu merupakan bagian dari kontrol masyarakat. Namun, jika dilihat dari perspektif tata negara dan logika dasar pemilu, langkah RRT sebenarnya salah sasaran. Mereka sibuk mengetuk pintu yang bukan pelaku utama, sementara pihak yang paling bertanggung jawab justru tidak pernah disentuh: partai-partai politik yang mengusung Jokowi sebagai calon presiden pada Pilpres 2014 dan 2019.
Analogi Simpel: Siapa Mengusulkan, Dia Bertanggung Jawab
Untuk membuatnya lebih mudah dipahami, mari memakai analogi “rumah tangga = negara”, yang sering digunakan dalam pendidikan kewarganegaraan:
• Rakyat adalah Istri — pemilik rumah dan sumber kedaulatan.
• MPR adalah Suami — kepala rumah tangga yang menjaga arah keluarga.
• Presiden hanyalah Asisten Rumah Tangga — pelayan publik yang dipekerjakan untuk menjalankan tugas sehari-hari.
• Partai Politik adalah Agen Asisten Rumah Tangga — pihak yang mengusulkan dan menjamin kualitas sang asisten.
Dengan analogi ini, logika menjadi sangat sederhana:
Jika “asisten rumah tangga” bermasalah, maka yang pertama dimintai pertanggungjawaban adalah agensinya — bukan RT, bukan RW, bukan tetangga, apalagi kampus tempat dia sekolah 30 tahun lalu.
Jika pemerintah adalah asisten rumah tangga, maka Jokowi sebagai calon presiden diusulkan melalui agen bernama partai politik. Dan jika ada dugaan dokumen bermasalah, maka parpol pengusunglah pihak pertama yang harus menjelaskan kepada publik.
Siapa Parpol Pengusung Jokowi?
Pilpres 2014 – Koalisi Indonesia Hebat (KIH):
• PDI Perjuangan
• PKB
• NasDem
• Hanura
Pilpres 2019 – Koalisi Indonesia Kerja (KIK):
• PDI Perjuangan
• Golkar
• PKB
• NasDem
• PPP
• Hanura
• PKPI
• Perindo
• PSI
Merekalah yang secara resmi menandatangani dokumen pencalonan Jokowi.
Merekalah yang menyatakan kepada negara dan rakyat bahwa Jokowi layak dan memenuhi syarat sebagai calon presiden.
Merekalah yang berkewajiban melakukan verifikasi administratif, termasuk keabsahan ijazah.
Jika sekarang muncul keraguan, maka pintu pertama yang harus diketuk bukanlah KPU atau kampus, tetapi parpol pengusung itu sendiri.
Mengapa Parpol? Karena Mereka Agen Politik yang Mengambil Keputusan
Dalam sistem pemilu Indonesia, KPU hanya mencatat dan memvalidasi dokumen yang diserahkan parpol.
Kampus hanya menyimpan data akademik, bukan lembaga politik.
Yang bertanggung jawab penuh atas rekam jejak calon presiden adalah:
Parpol pengusung.
Itu sebabnya investigasi RRT bakal lebih tepat sasaran jika mereka:
1. Meminta klarifikasi resmi dari semua parpol pengusung Jokowi 2014 dan 2019.
2. Menanyakan prosedur verifikasi ijazah yang pernah dilakukan parpol.
3. Meminta parpol menyampaikan pertanggungjawaban kepada publik.
4. Mengonfirmasi apakah proses itu dilakukan secara benar atau tidak.
Jika parpol mengakui bahwa mereka lalai, barulah terbuka ruang investigasi lebih dalam ke lembaga lain.
Mengapa RRT Justru Melompati Pelaku Utama?
RRT berkeliling kampus, mendatangi KPU, dan mencari arsip 40 tahun lalu. Itu kerja keras yang patut dihargai. Tetapi secara struktur kenegaraan, langkah itu melompat dan melewatkan titik paling fundamental.
Alasannya sederhana:
• KPU tidak mengajukan calon presiden;
• UGM tidak mengusulkan Jokowi sebagai calon;
• Komisi Informasi tidak menjamin kelayakan;
Semua tanggung jawab berada pada parpol.
Maka RRT sesungguhnya menembak sasaran yang berada di luar jalur prosedur.
Jika Parpol Angkat Tangan, Barulah Publik Masuk
Skenarionya jelas:
1. RRT bertanya ke semua parpol pengusung Jokowi.
2. Parpol mengakui kelalaian (atau membantah).
3. Jika parpol mengakui lalai → investigasi publik menjadi sepenuhnya sah dan justifiable.
4. Jika parpol menolak menjawab → publik berhak mempertanyakan profesionalisme mereka.
Dalam demokrasi, tanggung jawab itu berjenjang, bukan liar ke mana-mana.
Arahkan Kritik ke Tempat yang Benar
RRT berhak mengkritik, menelusuri, dan mempertanyakan. Itu bagian dari dinamika demokrasi. Tetapi jika ingin menyelesaikan persoalan secara benar, maka mereka harus mulai dari pihak yang mengusulkan, bukan dari institusi yang hanya memproses dokumen.
Polemik ijazah Jokowi tidak akan pernah selesai jika publik terus mengetuk pintu yang salah. Karena itu, langkah paling logis dan paling konstitusional adalah:
Minta pertanggungjawaban kepada partai-partai politik pengusung Jokowi dalam dua pemilu presiden.
Baru setelah itu, jika ada pengakuan kelalaian, ruang investigasi terbuka lebar.
Demokrasi berjalan jika kritik diarahkan ke tempat yang tepat — bukan ke pintu yang seharusnya tidak disalahkan.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain















