Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan)

Jakarta, aktual.com – Gelombang ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian di Indonesia sedang berada di salah satu titik tertingginya. Bukan hanya dalam obrolan warung kopi atau thread media sosial, tetapi meledak dalam bentuk aksi jalanan dan bahkan musik protes. Lagu “Bayar Bayar Bayar” dari duo punk Sukatani, misalnya, sempat viral karena liriknya yang secara terang menyinggung praktik pungli dan “uang pelicin” kepada oknum polisi dalam urusan sehari-hari. Lagu itu sampai akhirnya ditarik dan disertai permintaan maaf kepada institusi Polri—namun justru makin menguatkan kesan bahwa kritik warga cenderung dihadapi dengan tekanan, bukan dengan introspeksi.

Tujuh bulan kemudian, pemerintah membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dipimpin Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Komisi ini diberi mandat merumuskan rekomendasi perbaikan struktural dan kultural di tubuh Polri. Di atas kertas, ini terdengar menjanjikan. Namun tanpa satu kesadaran fundamental—bahwa rakyat adalah majikan, dan Polri hanyalah pegawai publik yang digaji dari uang rakyat—maka seluruh agenda reformasi itu berisiko berhenti sebagai riasan kosmetik di atas luka yang dalam.

Rakyat adalah Pemegang Kedaulatan, Bukan Objek Pengamanan

Konstitusi kita jelas: Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, seluruh lembaga negara—eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk Polri—secara prinsip adalah alat milik rakyat, bukan penguasa di atas rakyat. Gaji mereka dibayar dari pajak, dan pajak itu bersumber dari kerja jutaan orang yang bangun pagi, macet, banting tulang, serta dari pengelolaan kekayaan alam yang menurut UUD 1945 juga milik rakyat.

Dalam logika ini, rakyat adalah “bos besar”, dan polisi adalah salah satu pegawai yang tugasnya melindungi, mengayomi, dan melayani kepentingan sang bos. Bukan sebaliknya. Di level filosofis, hubungan ini harusnya sederhana: rakyat bekerja, membayar pajak, dan memercayakan sebagian kewenangan pada pemerintah; negara membentuk institusi seperti Polri untuk menjamin rasa aman dan keadilan bagi rakyat.

Masalahnya, dalam praktik sehari-hari, relasi itu terasa terbalik. Warga sering diperlakukan seolah-olah “orang kecil yang harus tunduk apapun yang terjadi”, sementara aparat tampil sebagai figur berkuasa yang sulit digugat, bahkan ketika jelas-jelas diduga menyalahgunakan wewenang.

Dari Pungli sampai Panggilan yang Mengintimidasi

Keresahan itu bukan abstrak. Pengalaman banyak warga menunjukkan pola yang mengkhawatirkan:

  • Datang ke kantor polisi untuk membuat laporan, tapi dipersulit, dipingpong, atau “disarankan” menyelesaikan di bawah tangan.
  • Urusan yang seharusnya administratif—minta surat, tilang, atau layanan lainnya—sering kali diiringi permintaan uang yang tidak resmi, praktik yang secara populer disebut pungli dan terang-terangan disindir dalam lirik “mau bikin SIM… bayar polisi”.
  • Warga menerima undangan klarifikasi atau panggilan dengan format yang tidak jelas: tidak gamblang siapa terlapornya, apa persisnya perkara, dan dalam kapasitas apa ia dipanggil. Dari sisi psikologis, ini bukan terasa sebagai layanan hukum, tapi sebagai bentuk tekanan yang mudah sekali berubah menjadi alat kriminalisasi.

Fenomena-fenomena ini bukan lagi cerita individu. Aksi protes berskala nasional pada 2025 yang diwarnai tagar #IndonesiaGelap menempatkan tuntutan “Polisi diberesin” sebagai salah satu agenda utama, bahkan menjadikan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” sebagai semacam theme song untuk mengkritik kinerja Polri yang dianggap sarat pungli, gratifikasi, dan kekerasan.

Jika warga yang bekerja, membayar pajak, dan dengan itu ikut membiayai gaji aparat penegak hukum justru hidup dalam rasa takut ketika berurusan dengan mereka, ini bukan lagi sekadar masalah oknum. Ini adalah indikator bahwa orientasi institusi telah bergerak menjauh dari prinsip “rakyat sebagai pemegang kedaulatan”.

Komite Percepatan Reformasi Polri: Harapan Serius atau Sekadar Panggung?

Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri—dengan figur-figur seperti Prof. Jimly dan beberapa purnawirawan maupun pejabat—di satu sisi bisa dilihat sebagai pengakuan pemerintah bahwa ada masalah serius di tubuh Polri. Komisi ini menggelar serangkaian pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, membahas mulai dari struktur organisasi, kultur kekerasan, sampai wacana pembentukan Kementerian Keamanan untuk mengatur posisi Polri secara lebih jelas.

Namun, sejak awal koalisi masyarakat sipil sudah mengingatkan beberapa bahaya:

  1. Komposisi komisi yang terlalu berat pada kalangan elit pemerintah dan purnawirawan, dengan keterwakilan masyarakat sipil yang minim.
  2. Mandat yang tidak jelas apakah rekomendasinya akan benar-benar mengikat dan dilaksanakan, atau hanya menjadi dokumen manis yang mengendap di laci.
  3. Risiko bahwa reformasi hanya berfokus pada struktur formal—perubahan bagan organisasi, nama unit, penambahan kementerian—tanpa menyentuh akar persoalan: hubungan kekuasaan antara polisi dan rakyat, budaya impunitas, dan praktik ekonomi-politik di balik “bayar-bayar” yang dikritik publik.

Selama tidak ada perubahan cara pandang yang fundamental—bahwa rakyat adalah majikan dan polisi adalah pelayan publik—maka reformasi berisiko sebatas seremonial: konferensi pers, logo baru, jargon-jargon, dan sedikit perbaikan prosedur, tanpa menyentuh pengalaman nyata warga di lapangan.

Tanpa Perubahan Cara Pandang, Reformasi Hanya Kosmetik

Mengapa kesadaran bahwa rakyat adalah majikan begitu penting?

  1. Karena ia menentukan cara polisi memandang dirinya sendiri.
    Jika polisi merasa dirinya “alat kekuasaan” yang terutama bertanggung jawab ke atasan politik, maka ia akan lebih mudah tunduk pada kepentingan pejabat, pengusaha besar, atau relasi kuasa lain, daripada pada keadilan bagi warga biasa. Sebaliknya, jika ia sadar bahwa gajinya dibayar dari pajak rakyat dan mandatnya berasal dari kedaulatan rakyat, maka setiap tindakan akan diuji: “Ini menguntungkan bos (rakyat) atau justru merugikan?”
  2. Karena ia menentukan desain pendidikan dan kultur di tubuh Polri.
    Kritik dari berbagai pihak, termasuk Komisi Percepatan Reformasi Polri sendiri, menyoroti bahwa pendidikan kepolisian di Indonesia masih sangat militeristik dan kurang menanamkan nilai-nilai sipil dan kognitif. Polisi sering lupa bahwa ia adalah penegak hukum sipil, bukan alat penakluk warga. Tanpa revisi radikal dalam kurikulum dan kultur, jargon “presisi” atau “humanis” hanya akan jadi poster di dinding.
  3. Karena ia menentukan bentuk mekanisme akuntabilitas.
    Jika rakyat adalah majikan, maka mekanisme pengawasan eksternal—seperti Kompolnas, Ombudsman, hingga kanal pengaduan masyarakat—harus diposisikan sebagai “pintu utama” rakyat mengoreksi polisi, bukan sekadar formalitas. Tanpa pengawasan yang kuat dan independen, setiap komitmen reformasi mudah runtuh di hadapan godaan politik dan bisnis.
  4. Karena ia mengubah cara polisi menyikapi kritik.
    Lagu protes seperti “Bayar, Bayar, Bayar”, demonstrasi mahasiswa, ataupun laporan media seharusnya dibaca sebagai alarm dari majikan yang marah, bukan ancaman yang harus dibungkam dengan intimidasi. Fakta bahwa sebuah lagu kritik sampai ditarik dan disusul permintaan maaf terbuka kepada Polri justru memperkuat kesan bahwa institusi ini lebih sensitif terhadap rasa “dilecehkan” ketimbang terhadap substansi keluhan rakyat.

Reformasi yang Substantif: Beberapa Titik Tekan

Agar reformasi Polri tidak berhenti sebagai kosmetik, ada beberapa titik tekan yang seharusnya menjadi agenda minimal:

  1. Reorientasi total pendidikan kepolisian
    Pendidikan Polri harus diletakkan pada fondasi bahwa polisi adalah penegak hukum sipil, pelayan publik, dan penjaga hak asasi. Kurikulum yang menormalisasi kekerasan, hierarki kaku, dan ketaatan buta harus diganti dengan penekanan pada etika, kognisi hukum, resolusi konflik, dan komunikasi publik.
  2. Memperkuat pengawasan eksternal yang bertaring
    Kompolnas, Komisi Percepatan Reformasi Polri, dan kanal pengaduan lain harus dilengkapi kewenangan yang jelas, transparan, dan mudah diakses warga. Setiap laporan pungli, intimidasi, atau penyalahgunaan wewenang harus diproses dengan standar waktu dan transparansi yang terukur, bukan hilang di meja birokrasi.
  3. Standar pelayanan yang tegas: nol pungli, nol intimidasi
    Pembuatan Laporan Polisi, pemanggilan saksi, penggeledahan, dan penyitaan harus diatur dengan SOP yang jelas dan komunikatif ke publik, termasuk informasi bahwa seluruh layanan tersebut gratis dan setiap permintaan uang di luar ketentuan adalah pelanggaran berat.
  4. Perlindungan nyata bagi warga yang mengkritik
    Kritik melalui seni, media sosial, ataupun aksi damai seharusnya dipandang sebagai bagian dari demokrasi yang sehat. Alih-alih dibungkam, Polri semestinya menggunakan kritik itu sebagai bahan evaluasi internal. Kasus-kasus di mana kritikus justru mengalami tekanan menjadi contoh paling telanjang bahwa reformasi belum menyentuh cara pandang dasar terhadap rakyat.
  5. Keterlibatan publik dalam merumuskan reformasi
    Komisi Percepatan Reformasi Polri harus benar-benar membuka diri terhadap partisipasi masyarakat sipil, akademisi, komunitas korban, jurnalis, dan kelompok rentan. Tanpa suara mereka, reformasi akan disusun dari ruang rapat ber-AC, bukan dari realitas yang dihadapi warga di jalanan dan kantor polisi.

Mengembalikan Hirarki yang Benar

Reformasi Polri tidak bisa hanya diukur dari seberapa sering pejabat bicara “presisi” di podium, seberapa banyak rapat yang digelar, atau seberapa cepat struktur organisasi dirombak. Ukuran yang paling jujur justru ada pada pengalaman harian warga: lebih mudahkah mereka mendapat keadilan? Lebih aman kah mereka ketika berhadapan dengan polisi? Lebih kecilkah risiko diperas, diintimidasi, atau dikriminalisasi ketika bersuara?

Selama polisi masih memandang rakyat sebagai objek yang harus diatur, bukan majikan yang harus dilayani, maka setiap upaya reformasi hanya akan menyentuh kulit. Ia mungkin memperindah wajah institusi di media, tetapi tidak menjawab rasa sesak di dada warga yang setiap hari bergumul dengan praktik “bayar-bayar”, panggilan yang mengintimidasi, dan perlakuan sewenang-wenang.

Reformasi Polri yang sejati hanya mungkin lahir ketika kesadaran ini ditanamkan:
kedaulatan ada di tangan rakyat, dan di hadapan rakyat, polisi bukan penguasa—melainkan pelayan yang wajib bertindak adil, transparan, dan bertanggung jawab. Tanpa itu, semua ini hanya kosmetik.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain