Jakarta, aktual.com – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB, Habib Syarief Muhammad, menyampaikan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hak Cipta di Badan Legislasi (Baleg) menghadirkan terobosan penting melalui pengakuan dan pengaturan Right of Publicity atau Hak Atas Publisitas.
Regulasi ini dinilai sebagai jawaban atas meningkatnya risiko penyalahgunaan identitas individu di tengah perkembangan teknologi digital.
Right of Publicity merupakan hak eksklusif individu atas penggunaan komersial nama, wajah, suara, tanda tangan, atau elemen identitas personal lainnya. Hak ini berbeda dari hak cipta tradisional karena fokusnya bukan pada karya, tetapi pada nilai ekonomi dan integritas identitas seseorang.
Habib menegaskan, di era teknologi kecerdasan buatan dan replikasi digital, pertanyaan mengenai apakah seseorang memiliki kedaulatan penuh atas citra dirinya bukan lagi isu retoris, melainkan kebutuhan hukum yang mendesak.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebenarnya memuat perlindungan terkait “Potret”.
“Saya melihat pengaturan ini belum menyentuh inti dari Right of Publicity, khususnya terkait eksploitasi komersial identitas personal yang bukan merupakan ciptaan dalam pengertian konvensional,” kata Habib melalui keterangan yang diterima, Senin (08/12/2025).
Politisi Senior PKB tersebut mengatakan bila Kekosongan hukum ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama saat identitas seseorang digunakan secara masif di ruang digital.
Dalam draf RUU Hak Cipta terbaru, Right of Publicity ditegaskan sebagai hak eksklusif yang mensyaratkan persetujuan tertulis dari individu atau ahli waris untuk setiap penggunaan komersial identitas mereka, termasuk foto, potret, dan representasi digital seperti deepfake.
Tak hanya itu, RUU ini juga mengatur Post-Mortem Right of Publicity, yaitu perlindungan identitas seseorang setelah meninggal dunia. Aturan ini merespons realitas bahwa nilai komersial identitas sering tetap bertahan bahkan setelah kematian.
Habib mencontohkan kasus Robin Williams, yang membatasi penggunaan identitasnya hingga 25 tahun setelah kematian melalui surat wasiat—langkah yang kini menjadi rujukan global dalam menghadapi risiko manipulasi digital.
“Saya rasa perlindungan identitas nasional harus jadi perhatian terutama di era digital,” katanya.
Habib turut menyoroti contoh terbaru penyalahgunaan identitas melalui teknologi deepfake seperti yang dialami aktor Bruce Willis.
Pada 2021, wajah Willis direplikasi secara digital dalam iklan komersial di Rusia tanpa kesepakatan menyeluruh terkait hak citra sang aktor.
“Kasus seperti ini menunjukkan urgensi perlindungan Right of Publicity. Teknologi memungkinkan penciptaan replika yang sangat meyakinkan tanpa kontrol pemilik identitas,” ujar Habib.
RUU Hak Cipta menegaskan bahwa setiap penggunaan komersial potret atau representasi digital yang dapat dikenali wajib mendapat persetujuan tertulis, sehingga memberikan benteng hukum bagi masyarakat.
Habib menilai pengaturan Right of Publicity dalam RUU Hak Cipta merupakan tonggak monumental bagi arsitektur hukum Indonesia. Regulasi ini dinilai proaktif menghadapi perkembangan teknologi sekaligus memperkuat perlindungan martabat individu.
“Dengan pengakuan hak ini, Indonesia tidak hanya mengejar praktik internasional, tetapi juga menempatkan diri sebagai negara yang menjunjung tinggi kedaulatan identitas digital warganya,” tegasnya.
Habib berharap pembahasan RUU Hak Cipta dapat segera rampung sehingga memberikan kepastian hukum, mencegah eksploitasi tanpa izin, dan menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang adil.
“Setiap warga negara, dari seniman hingga tokoh masyarakat, berhak mengendalikan narasi dan nilai ekonomi dari identitasnya,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















